BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bagi negara timur tengah maupun barat hampir semua mengenal Al Ghazali.
Ketenaran Al Ghazali bukan tanpa alasan. Kehadirannya banyak memberikan khazanah
bagi kehidupan manusia. Sosok figur Al Ghazali sebagai pengembara ilmu yang
sarat akan pengalaman mengantarakan posisinya menjadi personifikasi di segala
bidang dan setiap zaman. Kegigihannya dalam menelusuri kebenaran ilmu yang
bermodalkan otak brilian cemerlang, menjadi ciri keulamaan dan kecendikiawanan.
Al Ghazali dikenal sebagai ilmuwan yang konsekuen. Kedalaman dan keluasan
ilmunya tidak membuatnya sombong apalagi gegabah dalam tindakan dan pikiran
dalam menjalani persoalan kehidupan.
Pendidikan adalah hal yang terpenting dalam kehidupan ini, karena tanpa
pendidikan seseorang tidak akan mampu mengetahui dunia luar. Namun akhir-akhir
ini pendidikan kurang diperhatikan tujuan dari pendidikan tersebut. Pendidikan
belakangan ini kurang mengarah kepada pembentukan insan kamil, padahal tujuan
dari pendidikan tersebut tidak lain adalah untuk membentuk insan kamil atau
sempurna. Sehingga pendidikan saat ini bukanlah membentuk manusia utuh atau
sempurna yang layak untuk menjadi khalifah dibumi melainkan manusia yang
individualis, materialis dan pragmatis. Hal ini sangatlah berakibat fatal
karena yang kuat menindas yang lemah, yang berwenang tetaplah berwenang dan
yang kuat menindas yang lemah, tanpa ingat dosa. Maka dari sinilah kami akan
mengangkat sebuah tema yang menyajikan tentang arti dan pentingnya pendidikan
bagi kita, yang kami ambil dari pemikiran filusuf muslim yang terkenal yaitu
“Al-Ghazali”.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan maslah yang diangkat dalam makalah ini yaitu:
1. Bagaimana biografi Al-Ghazali?
2. Apa saja karya-karya yang telah dihasilkan oleh Al-Ghazali?
3. Bagaimana pemikiran filsafat Al-Ghazali?
4. Bagaimana pengaruh filsafat Al-Ghazali terhadap filsafat perkembngan
peradaban Isam?
C. Tujuan
Adapun tujuan dalam pembuatan makalah ini:
1. Untuk mengetahui biografi Al-Ghazali
2. Untuk mengetahui karya-karya yang telah dihasilkan oleh Al-Ghazali
3. Untuk mengetahui pemikiran filsafat Al-Ghazali
4. Untuk mengetahui pengaruh filsafat Al-Ghazali terhadap filsafat
perkembangan peradaban Islam
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi
Al-Ghazali
Al-Ghazali mempunyai nama lengkap Abu Hamid bin Muhammad bin Ahmad
Al-Ghazali[1]
(yang lbih dikenal dengan sebutan Al-Ghazali). Ia lahir di kota kecil yang
terletak di dekat Thus, Provisi Khurasan, Republik islam Irak pada tahun 450 H
(1058 M). Ada juga yang mengatakan bahwa beliau lahir pada tahun 1050, 1056,
dan 1059 M.
Ayah Al-Ghazali gemar mempelajarin ilmu tasawuf, karena ia hanya
mau makan dari usaha tangannya sendiri dari menenun wol. Ia juga terkenal
pencinta ilmu dan selalu berdoa agar anaknya kelak menjadi seorang ulama. Amat
disayangkan, ajalnya tak memberi kesempatan kepadanya untuk menyaksikan
keberhasilan Al-Ghazali sesuai doanya.[2]
Sebelum meninggal, ia sempat menitipkan Al-Ghazali kepada sodaranya yang
bernama Ahmad, seorang sufi, dengan tujuan agar dididik dan dibimbing dengan
baik.
Sejak kecil, Al-Ghazali dikenal sebagai anak yang senang menuntut
ilmu pengetahuan. Karenanya, tidak heran sejak maa kanak-kanak ia telah belajar
dengan sejumlah guru dikota kelahirannya. Diantara guru-gurunya pada waktu itu
adalah Ahmad Ibnu Muhammad Ar-Razikani. Kemudian, pada masa mudanya ia belajar
di Nisyapur dan Khurasan, yang pada waktu itu merupakan salah satu pusat ilmu
pengetahuan yang penting di dunia Islam. Al-Ghazali kemudian menjadi murid Imam
Al-Haramain Al-Juwaini yang merupakan guru besar di Madrasah Al-Nizamiyyah
Nisyapur. Al-Ghazali belajar mengenai teologi, hukum islam, filsafat, logika,
supisme, dan ilmu-ilmu alam.[3]
Al-Juwaini memprakasai muridnya yang brilian ini kedalam study kalam, filsafat
dan logika. Perkenalan Al-Ghazali dengan teori dan praktik mistisme merupakan
berkat jasa Al-farmazi (wafat 1084 M, seorang sufi terkemuka saat itu).
Karena kecerdasan dan kemauan Al-Ghazali yang luar biasa,
Al-Juwaini memberikannya gelar bahrum mugriq (laut yang menenggelamkan).
Al-Ghazali kemudian meningkatkan Naisabur setelah Imam Al-Juwaini meninggal
dunia pada tahun 478 H (1085). Kemudian, ia berkunjung kepada Nizam Al-malik di
kota Mu’askar.[4]
Ia mendapat penghormatan dan penghargaan yang besar sehingga ia tinggal di kota
itu selama enam tahun. Pada tahun 1090 M, ia diangkat menjadi guru disekolah
Nizamiyyah Baghdad. Pekerjaan itu dilaksanakannya dengan sangat serius. Selama
di Baghdad, selain mengajar, ia juga memberikan bantahan-bantahan terhadap
pikiran-pikiran golongan batiniah, islailiyah, golongan filsafat, dan lain-lain.
Setelah mengajar di berbagai tempat, seperti di Baghdad, Syam, dan Naisaburi,
akhirnya ia kembali ke kota kelahirannya di Thus pada tahun 1105 M.
Empat tahun lamanya al-Ghazali memangku jabatan tersebut,
bergelimang dengan ilmu pengetahuan dan kemewahan duniawi. Di masa iniah dia
memulai buku-buku ilmiah dan filsafat. Tetapi, keadaan yang demikian tidaklah
selamanya meneteramkan hatinya. Di dalam hatinya mulai timbul keraguan,
pertanyaan-pertanyaan batinnya sering muncul, inilah ilmu pengetahuan yang
sebenarnya? Inilah kehidupan yang dikasihi allah? Inikah cara hidup yang
diridhai tuhan? Dengan mereguk madu dunia sampai ke dasar gelasnya. Bercamam-macam
pertanyaan timbul dari sanubarinya.
Keraguan terhadap daya serap indra dan olahan akal betul-betul
menyelimutin dirinya. Akhirnya ia menyingkir dari kursi kebesaran ilmiahnya di
Baghdad menuju Mekkah, kemudian ke Damaskus dan tinggal di sana sambil mengisolir
diri untuk beribadah dan kontemplatif.
Kesunyian khalawat di Damaskus mulailah tampak terang yakin jalan
sufi. Al-Ghazali tidak lagi mengandalkan akal semata-mata, karena di samping
kekuatan akal ada lagi nur yang dilimpahkan Tuhan kepada para hamba-Nya yang
bersungguh-sungguh menuntut kebenaran. Dari damaskus, ia kembali ke Bghdad,
lalu kembali ke kampunya, Thus. Di kota ini, ia menghabiskan hari-harinya
dengan mengajar dna beribadah sampai akhir hayatnya, pada tanggal 14 Jumadilakhir
505 H (1111 M) dalam usia 55 tahun dengan meninggalkan beberapa anak perempuan.
Dan ada juga yang mengatakan bahwa beliau meninggal pada usia 54 tahun.
B.
Karya-Karya
Al-Ghazali
Setelah mempelajari beberapa filsafat, baik filsafat Yunani maupun
filsafat Islam, Al-Ghazali menemukan argumen-argumen mereka yang tidak kuat,
bahkan banyak yang bertentangan denga ajaran Islam. Oleh sebab itu, Al-Ghazali
menyerang argumen para filsuf Yunani dan Iislam dalam bebrrapa persolan, di
antaranya Al-Ghazali menyerang dalil Aristoteles tentang azalinya alam. Ia
menentang pendapat para filsuf yang mengatakan bahwa Tuhan tidak mengetahui
perincian pada alam dan hanya mengetahui soal-soal yang besar saja. Selain itu,
ia menentang argumen para filsuf yang
mengatakan kepastian hukum sebab akibat semata-mata, mustahil adanya
penyelewengan dari hukum itu.[5]
Al-Ghazali diberi gelar kehormatan sebagai Hujjat Al-Islam
atas pembelaannya yang mengagumkan terhadap agama Islam, terutama terhadap kaum
batiniyat dan kaum filsuf. Al-Ghazali merupakan sosok luar biasa, ia
seorang ulama, pendidik, ahli pikir dalam ilmunya, dan pengarang yang
produktif. Karenya, pernyataan yang dikemukakan sarjana-sarjana Eropa (juga
sebagai orang Islam) bahwa ia adalah muslim terbesar sesudah Muhammad Saw.,
memperkuat kebesaran nama yang disandangkan. Pemaparan dan gaya bahasanya yang
sangat menarik menjadikan dalil yang disajikan menjadi sangat kuat sehingga
setiap ilmu yang ditulis dapat dijadikan hujah.
Karya tulisnya meliputi berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Di
bawah ini merupakan beberapa warisan dari Al-Ghazali yang paling besar
pengaruhnya terhadap pemikiran umat Islam.
1.
Maqasid
Al-Falasifah (tujuan-tujuan
para filsuf) merupakan karangan pertama
dan berisi masalah-masalah filsafat.
2.
Tahafut
Al-Falasifah (kekacauan
pikiran para filsuf), buku ini dikarang pada saat jiwanya dilanda keragu-raguan
di Baghdad. Al-Ghazali mengencam filsafat dan para filsuf dengan keras.
3.
Mi’yar
Al-‘Ilm (ilmu-ilmu).
4.
Ihya
‘Ulum Ad-Din menghidupkan
kembali ilmu-ilmu agama), buku ini merupakan karyanya yang terbesar selama
beberapa tahun dalam keadaan berpidah-pindah antara Damaskus, Yerussalem,
Hijaz, dan Thus yang berisi panduan antara fikih, tasawuf, dan filsafat.
5.
Al-Munqiz
min Ad-Dalal (penyelamat
dari kesesatan), buku ini merupakan sejarah perkembangan alam pikiran Al-Ghazali dan merefleksikan sikapnya
terhadap beberapa macam ilmu serta jalan mencapai Tuhan.
6.
Al-Ma’arif
Al-‘Aqliyah (pengetahuan
yang rasional).
7.
Misykat
Al-Anwar (lampu yang
bersinar banyak), buku ini berisi pembahasan tentang akhlak tawasuf.
8.
Minhaj
Al-‘Abidin (jalan
mengabdikan diri kepada Tuhan).
9.
Al-Iqtisad
fi Al-I’tiqad (moderasi dalam akidah).
10.
Ayyuha
Al-Walad (wahai anak).
11.
Al-Mustafa
(yang terpilih).
12.
Iljam
Al-‘Awwam an ‘Ilm Al-Kalam.
13.
Mizan
Al-‘Amal (timbangan
amal).
Walaupun umurnya pendek, tetapi kontribusi Al-Ghazali pada ilmu
pengetahuan cukup besar. Meskipun ia telah meninggl dunia, namun hasil karyanya
tetap hidup ditengah-tengah dunia ilmiah. Karya tulisnya meliputi berbagai disiplin
ilmu pengetahuan. Buah tangannya ini tidak sedikit dialih bahasakan orang ke
dalam terhadap pemikiran umat Islam.
C.
Filsafat
Al-Ghazali
Al-Ghazali merupakan sosok pemikir dan ulama yang memiliki
kontrubusi besar di panggung peradaban Islam. Namun, tidak sedikit pula
orang-orang dengan berbagai karyanya yang mendiskreditkan tokoh besar ini.
Akibatnya, Al-Ghazali ditempatkan sebagai sosok yang kontrovesial dengan para
filsuf, bahkan Al-Ghazali dituding sebagai orang yang mengharamkan filsafat.
Berdasarkan hal itu, tidak sedikit orang menanamkan kebencian terhadap
Al-Ghazali dan pemikir-pemikirannya. Dalam menyikapi fenomena tersebut,
tentunya perlu ada upaya penjernihan dan kajian yang mendalam tentang filsafat
dalam pandangan Al-Ghazali yang sesungguhnya, sehingga kajiannya tidak
membingungkan para pembaca dalam memahami sosok Al-Ghazali ini.
Filsafat pada dasarnya adalah proses pencarian kebenaran. Adapun
kebenaran yang dicari Al-Ghazali adalah suatu kebenaran sejati, yaitu kebenaran
yang diyakini betul-betul merupakan kebenaran. Corak pemikiran Al-Ghazali pada
mulanya adalah sama dengan para filsuf yang lainnya, ia memandang pengetahuan
itu adalah hal-hal yang bisa ditangkap oleh pancaindra, namun dia berpendapat
pula bahwa pancaindra juga memiliki kekurangan. Karena ketidakpercayaan pada
pancaindra, beliau meletakkan kepercayaan pada akal, tetapi akal juga tidak
bisa dipercaya. Alasan yang paling membuat dia tidak percaya pada produk akal
adalah dia melihat bahwa aliran-aliran yang menggunakan akal sebagai sumber
pengetahuan, ternyata menghasilkan pemandangan yang bertentangan, yang sulit
diselesaikan oleh akal.
Al-Ghazali adalah tokoh yang fenomenal sekaligus memiliki keunikan
tersendiri dibandingkan dengan filsuf lain. Hal ini dibuktikan Al-Ghazali sebagai
sosok yang mendalami filsafat sekaligus mengkritiknya. Buku Maqasid
Al-Falasifah berisi tiga persoalan filsafat, yaitu logika, ketuhanan, dan
fisika yang diuraikannya dengan sejujurnya, seolah dia seorang filsuf yang
menulis tentang kefilsafatan. Tahafut Al-Falasifah, di mana ia bertindak
bukan sebagai filsuf, melainkan seorang tokoh Islam yang hendak mengkritika
filsafat dan menunjukkan kelemahan-kelemahan serta kejanggalan-kejanggalannya,
yaitu dalam hal berlawanan dengan agama.[6]
Setalah melakukan pengembaraan intelektual berupa analisis dan
koreksi terhadap sejumlah filsuf-filsuf besar, akhirnya Al-Ghazali
mengklasifikasikan para filsuf menjadi tiga golongan.
1.
Filsuf
Materialis (Dahriyyun)
Mereka
adalah para filsuf yang menyangkal adanya Tuhan. Sementara itu, kosmos ini ada
dengan sendirinya, seperti Empedokles (490-430 SM) dan Demokritus (460-360 SM).
2.
Filsuf
Naturalis (Tabi’iyyun)
Mereka
adalah para filsuf yang melaksanakan berbagai penelitian di alam ini. Melalui
penyelidikan-penyelidikan tersebut, mereka cukup banyak menyaksiakan keajaiban-keajaiban yang
memaksa mereka untuk mengakui adanya Maha Pencipta di alam ini. Walaupun begitu,
mereka tetap mengingkari Allah, Rasul-Nya, dan hari berbangkit. Mereka tidak
mengenal pahala dan dosa sebab mereka hanya memuaskan nafsu seperti hewan.
3.
Filsuf
Ketuhanan (Ilahiyun)
Mereka
adalah filsuf Yunani seperti Sokrates, Plato, dan Aristoteles. Aristoteles
telah menyanggah pemikiran filsuf sebelumnya, yaitu materialis dan naturalis,
namun ia sendiri tidak membebaskan diri dari sisa-sisa kekafiran dan
keheredoksian. Oleh karena itu, ia sendiri termasuk orang kafir dan begitu juga
Al-Farabi dan Ibnu Sina yang menyebarluaskan pemikiran ini di dunia Islam.
Al-Ghazali tidak menyerang semua cabang filsafat, hanya filsafat
ketuhanan (metafisika). Al-Ghazali menyerang kaum filsuf dalam kitab Tahafut
Al-Falasifah katena mereke berlebihan menggunakan akal dan menetapkan
sesuatu tanpa bukti atas nama akal. Sebagai bukti bahwa Al-Ghazali tidak
menyerang seluruh cabang filsafat, Al-Ghazali menyimpulkan bahwa filsafat
Aristoteles yang disalin dan
disebarluaskan oleh Al-Farabi dan Ibnu Sina terbagi menjadi tiga kelompok: (a)
filsafat yang tidak perlu disangkal, dengan arti dapat diterima, (b) filsafat
yang harus dipandang bidah
(heteredoksi), (c) filsafat yang harus dipandang kafir.
Ilmu filsafat menurut Al-Ghazali terbagi menjadi enam bagian: ilmu
matematika, logika, fisika, politik, etika, dan metafisika (ketuhanan).
Dibawah ini adalah penjelasan singkat tentang kajian khusus
metafisika Al-Ghazali sebagai bentuk sanggahan atas metafisika para filsuf.
1)
Kadimnya
Alam dan Keazaliannya
Timbulnya
reaksi dan perdebatan antara Al-Ghazali dengan filsuf lain ihwal kadimnya alam,
bermula dari kesimpulan para filsuf yang mengatakan bahwa alam itu kadim. Bagi
para filsuf muslim, seperti Al-Farabi dan Ibnu Sina, paham bahwa alam itu kadim
sedikit pun tidak dipahami mereka sebagai alam yang ada dengan sendirinya. Ala
itu kadim karena justru Tuhan menciptakannya sejak azali. Bagi mereka, mustahil
Tuhan ada dengan sendirinya tanpa mencipta pada awalnya, kemudian menciptakan
alam. Gambaran bahwa pada awalnya Tuhan tidak menciptakan, kemudian baru
menciptakan alam, menurut mereka menunjukkan berubahnya Tuhan. Tuhan menurut
mereka mustahil berubah, dan oleh sebab itu, mustahil juga Tuhan berubah dari
awalnya tidak atau belum mencipta, kemudian mencipta.
Argumen-argumen yang dilontarkan Al-Ghazali tentang kadimnya Allah
sekaligus sebagai pencipta alam, sesuai dengan ayat-ayat Al-Qur’an, di
antaranya:
ª!$# ß,Î=»yz Èe@à2 &äóÓx« ( uqèdur 4n?tã Èe@ä. &äóÓx« ×@Ï.ur ÇÏËÈ
Artinya: “Allah
menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu”. (Q.S.
Az-Zumar: 62).
uqèd ª!$# ß,Î=»yø9$# äÍ$t7ø9$# âÈhq|ÁßJø9$# ( ã&s! âä!$yJóF{$# 4Óo_ó¡ßsø9$# 4 ßxÎm7|¡ç ¼çms9 $tB Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur ( uqèdur âÍyèø9$# ÞOÅ3ptø:$# ÇËÍÈ
Artinya: “Dialah
Allah yang Menciptakan, yang Mengadakan, yang membentuk Rupa, yang mempunyai
asmaaul Husna. bertasbih kepadanya apa yang di langit dan bumi. dan Dialah yang
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (Q.S. Al-Hasyr: 24).
Adanya alam adalah hasil dari iradat Tuhan, karena sifat iradat
dalam pandangan Al-Ghazali adalah sifat yang mutlak dan ada pada Tuhan. Dengan
kata lain, Tuhan memiliki kehendak dengan kebesaran yang tidak terbatas. Dia
bisa berkehedak untuk menciptkan atau tidak menciptakan. Begitupun halnya
kebebasan kehendak Tuhan itu tercermin dari segi waktu penciptaan. Artinya
Tuhan bisa memilih aktu tertentu untuk menciptakan sesuatu, tanpa harus
mempertanyakan sebab Tuhan memilih waktu itu, karen sebabnya itu merupakan iradat-Nya
pula.
2)
Tuhan
tidak Mengetahui yang Juzi’yyat
Sanggahan Al-Ghazali yang kedua ini bermula dari pandangan para
filsuf muslim yang berpendapat bahwa Allah hanya mengetahui zat-Nya, tidak
mengetahui yang selain-Nya (juz’iyyat). Ibnu Sina mengatakan bahwa Allah
mengetahui segala sesuatu dengan ilmu-Nya yang kully. Alasan para filsuf
muslim, bahwa Allah tidak mengetahui yang juz’iyyat, karena di alam ini selalu
terjadi perubahan-perubahan. Jika Allah mengetahui rincian perubahan tersebut, hal
itu akan membawa perubahan pada zat-Nya. Perubahan pada objek ilmu akan membawa
perubahan pada yang punya ilmu (bertambah dan berkurang). Ini mustahil bagi
Allah.[7]
* ¼çnyYÏãur ßxÏ?$xÿtB É=øtóø9$# w !$ygßJn=÷èt wÎ) uqèd 4 ÞOn=÷ètur $tB Îû Îhy9ø9$# Ìóst7ø9$#ur 4 $tBur äÝà)ó¡n@ `ÏB >ps%uur wÎ) $ygßJn=÷èt wur 7p¬6ym Îû ÏM»yJè=àß ÇÚöF{$# wur 5=ôÛu wur C§Î/$t wÎ) Îû 5=»tGÏ. &ûüÎ7B ÇÎÒÈ
Artinya: “dan
pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya
kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan
tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak
jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau
yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)"
(Q.S. Al-An’am: 59).
3)
Pembangkitan
Jasmani
Menurut Al-Ghazali, pemikiran bahwa pembangkitan jasmani di hari
kiamat itu tak ada, itu pun membawa pada kekufuran karena teks ayat-ayat dalam
Al-Qur’an menggambarkan adanya pembangkitan jasmani. Firman Allah Swt:
z>uÑur $oYs9 WxsWtB zÓŤtRur ¼çms)ù=yz ( tA$s% `tB ÄÓ÷Õã zN»sàÏèø9$# }Édur ÒOÏBu ÇÐÑÈ ö@è% $pkÍósã üÏ%©!$# !$ydr't±Sr& tA¨rr& ;o§tB ( uqèdur Èe@ä3Î/ @,ù=yz íOÎ=tæ ÇÐÒÈ
Artinya: “dan
ia membuat perumpamaan bagi kami; dan Dia lupa kepada kejadiannya; ia berkata:
"Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang, yang telah hancur
luluh?" Katakanlah: "Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang
menciptakannya kali yang pertama. dan Dia Maha mengetahui tentang segala
makhluk. (Q.S. Yasin: 78-79).
Pengkafiran disini berdasarkan atas berlawannya pemikiran tentang
tidak adanya pembangkitan jasmani dengan teks Al-Quran sebagai wahyu dari
Tuhan. Dengan demikian, dalam pandangan Al-Gazali bahwa kehidupan akhirat itu,
yang akan dibangkitkan bukan hanya mengacu pada kehidupan rohani saja, tetapi
kehidupan rohani dan jasmani sekaligus. Rohani dan jasmani akan mendapatkan
balasan yang setimpal sesuai dengan amal dan perbuatan manusia ketika di bumi.
Rohani dan jasmani akan merasakan nikmatnya surga atau azabnya neraka.
Dalam hal pembangkitan jasmani, Ibn Rusyd menulis dalam Tahafut
At-Tahafut bahwa filsuf-filsuf Islam tak menyebutkan hal seperti itu. Dalam hal
ini, ia melihat adanya pertentangan dalam ucapan-ucapan Al-Ghazali. Di dalam
Tahafut Al-Falasifah, Al-Ghazali menulis, bahwa dalam Islam tidak mengenal
konsep bahwa yang akan dibangkitkan itu rohani saja. Namun, dalam buku lain ia
mengatakan, menurut kaum sufi, yang ada nanti ialah pembangkitan rohani dan tidak
ada pembangkitan jasmani. Ketidakkonsistenan Al-Ghazali menggambarkan
perkembangan pemikirannya, sebagaimana perkembangan pengembaraan intelektual belaui
semasa hidupnya yang berawal dari pengembaraan filsafat, kemudian ke tasawuf.
Dengan demikian, Al-Ghazali juga tak mempunyai argumen kuat untuk
mengkafirkan kaum filsuf dalam pemikiran tentang tidak adanya pembangkitan
jasmani. Pemikiran itu bukanlah pendapat filsuf, dan kelihatannya adalah
kesimpulan yang ditarik Al-Ghazali dari filsafat mereka.
Pengkafiran Al-Ghazali terhadap tiga permasalahan tersebut membuat
orang di dunia Islam bagian Timur dan Baghdad, sebagai pusat pemikiran,
menjauhi filsafat. Apalagi di samping pengkafiran itu, Al-Ghazali mengeluarkan
pendapat bahwa jalan sebenarnya untuk mencapai hakikat bukanlah filsafat,
tetapi tasawuf. Bahkan, Al-Ghazali menurut Ibnu Rusyd telah melakukan dua
kesalahan.
Pertama, Al-Ghazali telah membingungkan umat. Filsafat adalah konsumsi
orang-orang tertentu yang memang mengerti dalam bidang filsafat, tapi oleh
Al-Ghazali ilmu ini disebarkan ke masyarakat awam. Oleh sebab itu, orang-orang
yang tidak mengerti filsafat menjadi kebingungan. Pemikiran-pemikiran Al-Ghazali
telah meracuni masyarakat sehingga masyarakat menjadi bingung dan menjauhi
dunia filsafat. Akhirnya, Ibnu Rusyd menuding balik bahwa kemunduran
(pemikiran) Islam dalah satunya disebabkan fatwa-fatwa Al-Ghazali yang berhasil
mengkerangkeng filsafat.
Kedua, filsafat yang digunakan Al-Ghazali hanya menggunakan metode
dialektika, tanpa metode burhani. Oleh karena itu, apa yang disampaikan
Al-Ghazali pun mengalami kerancuan dalam pemikiran para filsuf. Inilah yang
menyebabkan terjadinya pergolakan pemikiran di antara filsuf muslim.
1.
Filsafat
Ketuhanan
Ihwal metafisika, Al-Ghazali memberikan reaksi terhadap
neoplatonisme Islam. Menurutnya, banyak kesalahan para filsuf karena mereka
tidak teliti dalam lapangan logika dan matematika. Untuk itu, Al-Ghazali mengecam
secara langsung dua tokoh neoplatonisme muslim (Al-Farabi dan Ibnu Sina), dan
secara tidak langsung terhadap Aristoteles, guru mereka. Menurut Al-Ghazali
dalam bukunya Tahafut Al-Falasifah, para
pemikir bebas tersebut ingin meninggalkan keyakinan-keyakinan Islam dan
mengabaikan dasar-dasar pemujaan ritual, dengan menganggapnya sebagai sesuatu
yang tidak berguna bagi pencapaian intelektual mereka.[8]
Konsep ketuhanan dalam pandangan Al-Ghazali terdiri atas tiga
masalah pokok. Berikut ini merupakan uraiannya.
a.
Masalah
Wujud
Dalam
menetapkan wujud Tuhan ini, Al-Ghazali mengikuti tradisi ulama kalam
Al-Asy’ari, beliau menggunakan dalil wujud Tuhan itu atas dua bentuk, yaitu
dalil naqli dalil aqli. Penggunaan dalil naqli, yakni melalui
perenungan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an sambil memperhatikan alam semesta
sebagai ciotaan Tuhan, di mana dengan perenungan ayat dan fenomena alam yang
serba teratur, manusia akan sampai mengakui wujud Tuhan.
Sementara
itu, dalam membuktikan wujud Tuhan melalui dalil aqli, Al-Ghazali
mempertentangkan wujud Allah dengan wujud makhluk. Wujud Allah adalah kadim,
sedangkan wujud makhluk adalah hadits. Wujud yang hadits (baru) menghendaki
sebab gerak yang mendahuluinya sebagai penggerak yang mengadakannya.
b.
Masalah
Zat dan Sifat
Dalam
emmbahas zat Tuhan, Al-Ghazali membatasi diri dengan mengemukakan hadis Nabi
Saw., yang melarang manusia memikirkan zat Allah SWT. Dari beliau menegaskan,
bahwa akal manusia tidak akan sampai encapai zzat itu. Cukup bagi manusia hanya
mengetahui sifat af’al-nya saja, sedangkan dalam membahas tentang sifat Tuhan,
Al-Ghazali cenderung untuk mengikuti para mutakalimin dari mazhab Al-As’ari.
Beliau menetapkan adanya sifat zat yang diistilahkan dengan sifat salbiyah dan
ma’ani.
c.
Masalah
Af’al
Dalam
masalah ini, Al-Ghazali berpendapat bahwa perbuatan Allah SWT., tidaklah
terbatas dalam menciptakan alam saja, tetapi Allah SWT., juga menciptakan
perbuatan manusia dan ikhtiarnya. Perbuatan manusia tidaklah terlepas dari
kehendak Allah SWT. Manusia hanya diberi kekuasaan dalam lingkungan kehendak
Tuhan. Jadi, perbuatan dan ikhtar manusia dalam terbatas dan tidak akan
melampaui garis-garis kadar. Dalam menguraikan tentang af’al ini, Al-Ghazali
mengembalikan permasalah kepada firman Allah SWT :
¨bÎ*sù ©!$# @ÅÒã `tB âä!$t±o ........
Sesungguhnya
Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan menunjuki siapa yang
dikehendaki ..... (Q.S. Fatir: 8)
2.
Tasawuf
Al-Ghazali
Karena tidak merasa puas dengan ilmu kalam dan filsafat, ia
meninggalkan kedudukannya yang tinggi di Madrasah Nizamiyyah Baghdad pada tahun
1095 M, lalu pergi ke Damaskus untuk bertapa di salah satu menara Masjid Umawi
yang ada di sana. Tasawuflah yang dapat menghilangkan rasa syak yang lama
mengganggu dirinya. Dari tasawuflah, ia memperoleh keyakinan yang
dicari-carinya, itulah yang membuat Al-Ghazali memperoleh keyakinan kembali.
Mengenai cahaya ini, Al-Ghazali mengatakan:
“Cahaya itu adalah kunci dari kebanyakan pengetahuan dan siapa yang
menyangka bahwa kasyf (pembukaan
tabir) bergantung pada argumen-argumen, sebenarnya telah mempersempit rahmat
Tuhan yang demikian luas.... Cahaya yang dimaksud adalah cahaya yang disinarkan
Tuhan ke dalam hati sanubari seseorang.”
Dengan demikian, satu-satunya pengetahuan yang menimbulkan
keyakinan akan kebenaran bagi Al-Ghazali adalah pengetahuan yang diperoleh
secara langsung dari Tuhan dengan tasawuf.[9]
3.
Filsafat
Etika atau Akhlak Al-Ghazali
Filsafat akhlak menurut Al-Ghazali amat erat kaitannya dengan
filsafat ketuhanannya, sebab tujuan dari butiran nilai-nilai akhlak yang
dikemukakannya tidak lain adalah sebagai sarana untuk mencapai makrifatullah
(mengenal Allah SWT). Dalam arti, membuka hijab-hijab yang membatasi diri
manusia dengan Tuhannya. Al-Ghazali menakrifkan akhlak itu dengan : “sifat
yang ternanam di dalam jiwa di mana timbul perbuatan-perbuatan dan tidak tanduk
dengan mudah dan gampang tanpa memerlukan pikiran dan pertimbangan”. Jadi,
akhlak adalah milik jiwa yang menjadi sifat seorang manusia, yang dengan sifat
itu secara gampang ia dapat berbuat. Dalam mendefinisikan etika atau akhlak,
Al-Ghazali memiliki banyak kesamaan dengan Ibnu Miskawaih, yaitu suatu keadaan
jiwa yang mantap yang direfleksikan dalam bentuk perbuatan-perbuatan mudah
tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.
Filsafat etika Al-Ghazali secara langsung dapat kita lihat pada
teori tasawufnya dalam bukunya Ihya’ ‘Ulumuddin. Dengan kata lain,
filsafat etika Al-Ghazali merupakan teori tasawufnya. Tujuan pokok dari etika
Al-Ghazali terdapat pada semboyan tasawuf yang terkenal: at-takhalluq
bi-akhlaqillahi ‘ala taqatil basyariyah, atau pada semboyannya yang lain, as-sifatir-rahman
‘ala taqalil-basyatiyah. Maksud semboyan itu adalah agar manusia sejauh
kesanggupannya meniru perangai dan sifat-sifat ketuhanan, seperti pengasih,
penyayang, dan pengampun (pemaaf). Di samping itu, sifat-sifat yang disukai
Tuhan, seperti sabar, jujur, takwa, zuhud, ikhlas, beragama, dan sebagainya.[10]
D.
Pengaruh
Filsafat Al-Ghazali
Pengaruh pemikiran Al-Ghazali terhadap perkembangan peradaban Islam
sangat besar karena pemikiran-pemikiran Al-Ghazali sesuai dengan ajran Islam.
Banyak kitan karangan Al-Ghazali yang merupakan upayanya untuk membersikan hati
umat Islam dari kesesatan sekaligus pembelaan terhadap serangan-serangan pihak
luar, baik Islam maupun Barat (orientalis). Karena jasanya dalam mengomentari
dan melakukan pembelaan terhadap berbagai serangan, ia diberi gelar hujjatul
Islam. Tentu saja gelar tersebut bukan sembarangan gelar dan tidak ada
seorang pun sebelumnya yang digelari seperti itu. Gelar tersebut didasarkan
pada pemikiran Al-Ghazali yang sangat baik dan berpengaruh.[11]
Bagaimanapun, karya-karya Al-Ghazali ini berpengaruh besar bagi
para ilmuwan dan filsuf lain, termasuk di dataran Eropa, seperti:
1.
Carra
De Vaux, yang menerjemahkan buku Tahafut Al-Falasifah
2.
De
Boer dan Asin Palacois yang masing-masing menerjemahkan bagian dari Thafut
Al-Falasifah
3.
H.
Bauer yang menerjemahkan Qawa’id Al-‘Aqa’id, dalam bukunya Die
Dogmatik Al-Ghazali’s
4.
Barbier
De Minard, yang menerjemahkan Al-Munqizu min Ad-Dalal
5.
W.H.T.
Craidner London yang menerjemahkan buku Miskat Al-Anwar
6.
B.
Mic Donal, menerjemahkan beberapa pasal dari Ihya’ ‘Ulum Ad-Din
Al-Ghazali,
sampai saat ini barang kali tidak berlebihan apabila dikatakan sebagai pemikir
besar dalam Islam. Beliau telah memberikan pengaruh besar dan memberikan wajah
baru dalam Islam. Penafsiran filsufis yang dilakukan oleh filsuf Islam
sebelumnya tidak memberikan pemikiran yang berpusat pada Islam, melainkan
mereka banyak tertuju pada masalah-maslah klasik yang terdapat dalam pemikiran
Yunani. Demikian pula ulama kalam dalam memerangi filsafat, tidak ada seorang
pun yang dapat merobohkan filsafat dari dasarnya dengan metode yang rapi,
seperti yang dikerjakan Al-Ghazali dalam bukunya Tahafut Al-Falasifah,
ia telah menguji setiap pemikiran filsuf dan menunjukkan kelemahannya.
BAB III
PENUTUP
A. SIMPULAN
Imam Al-Ghazali adalah pemikir ulung Islam yang menyandang gelar “pembela
Islam” (hujjatul Islam), hiasan agama (Zainuddin), samudra yang menghanyutkan
(bahrun mughriq), dan pembaharu agama. Gelar ini didasarkan pada keluasan ilmu
dan amalnya serta hidupnya yang penuh dengan perjuangan dan pengorbanan dalam
mempertahankan ajaran agama dari berbagai serangan.
Dari uraian di atas dapat di simpulkan bahwa pendidikan itu adalah proses
memanusiakan manusia yang bertujuan membentuk insan kamil untuk menjadi
khalifah di bumi. Dan dengan adanya pendidikan ini diharapkan manusia mampu
mencapai tujuan hidupnya di dunia dan akhirat, dan hidup yang berpedoman
al-Qur’an dan Hadits.
Imam Al-Ghazali memiliki banyak karangan yang dipakai dalam hal pengetahuan
pendidikan, dan beliau merupaka salah satu guru besar dalam ilmu pengetahuan.
DAFTAR PUSTAKA
Sirajuddin Zar. 2007. Filsafat Islam. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Ar-Rasyidin dkk. 2005. Perkembangan Pemikiran Falsafi dalam
Islam. Jakarta: Ciputat Press.
Ahmad Syadani dkk.. 1997. Filsafat Umum. Bandung: Pustaka
Setia.
Ar Rasyidin dkk. 2005. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta:
Ciputat Press.
Yunasril Ali. 1991. Perkembangan Pemikiran Filsafat dalam Islam.
Jakrta: Bumi Askara.
Ahmad Hanafi. 1996. Pengantar Filsafat Islam. Jakarta: Bulan
Bintang.
Al-Gazali. 1962. Tahafut Al-Falasafih. Kairo: Dar Al-Ma’ari.
Hasyimsah Nasution. 2022. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya
Media Pratama.
Harun Nasution. 1978. Filsafat dan mistisis medalam Islam.
Jakarta: Bulan Bintang.
Mustofa. 2000. Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia.
Suseno. 2000. Dua Belas Tokoh Etika Abad ke-20. Yogyakarta:
Kanisius.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar