BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Istilah
ber-filsafat ialah berfikir tentang sesuatu secara mendalam dan mengakar demi
mendapatkan jawaban yang pasti tentang
sesuatu yang masuk akal sesuai dengan nalar manusia. Filsafat hadir sebagai
induk dari semua ilmu pengetahuan yang lahir pada zaman ini, karena melalui
filsafat telah banyak hal baru yang dapat ditemukan. Dalam dunia islam,
filsafat lahir ketika filsafat barat sedang mengalami keterpurukan karena
adanya larangan gereja untuk berfilsafat. Berbeda dengan Filsafat Barat yang
objek kajiannya pada ilmu pengetahuan (science),
dalam Filsafat Islam akan di urai pembicaraan tentang Tuhan. Diantara banyaknya
tokoh-tokoh filosof Islam yang banyak bermunculan salah satu yang juga
memberikan kontribusi dalam dunia filsafat Islam yaitu “Ikhwan as Shafa”.
Ikhwan as Shafa merupakan sekumpulan filosofis berpaham Syi’ah yang berada di
kota Bashrah.
Organisasi ini juga mengajarkan tentang dasar-dasar Islam
yang didasarkan oleh persaudaraan Islamiyah (ukhuwah Islamiyah), yaitu
sikap yang memandang iman seseorang muslim tidak akan sempurna kecuali ia
mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri[1]. Sebagaimana
tokoh-tokoh terkenal filsafat lainnya yang telah menghasilkan karya besar,
Ikhwan as Shafa hadir dengan membawa pemikiran yang dapat dirasakan manfaat
dari karyanya sebagai bahan referensi keilmuan Islam.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas penulis merumuskan masalah
sebagai berikut:
1.
Bagaimana latar belakang adanya
para filosof yang tergabung dalam Ikhwan as Shafa?
2.
Bagaimanakah kajian filsafat yang
dibicarakan Ikhwan as Shafa?
3.
Apa sajakah karya-karya yang telah dihasilkan oleh Ikhwan as
Shafa?
C.
Tujuan Pembahasan
Penulisan makalah
ini bertujuan agar para pembaca mampu mengerti dan memahami:
1.
Latar belakang adanya para
filosof Ikhwan as Shafa
2.
Paham filsafat yang dikaji oleh
Ikhwan as Shafa
3.
Karya-karya yang dihasilkan oleh
Ikhwan as Shafa
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Latar Belakang
Ikhwan as Shafa
Dalam bahasa Arab
kata ikhwan dapat diartikan sebagai saudara yang terambil dari kata al-akh. Sedangkan kata Al Shafa sendiri
berarti suci atau kesucian. Sedangkan dalam referensi lain, Ikhwan As-Shafa (Arab الصفا اخوان; terjemahan: Persaudaraan
Kemurnian) adalah sebuah organisasi rahasia yang aneh
dan misterius yang terdiri dari
para filsuf Arab Muslim, yang berpusat di Basra, Irak yang saat itu
merupakan ibukota Kekhalifahan Abbasiyah di sekitar abad ke-10 Masehi.
Adapun secara
terminologi Ikhwan as Shafa digunakan untuk menunjukan kepada sekelompok
pemikir filsafat dari kalangan umat Islam bernama Syi’ah Isma’iliyah pada abad
ke 4 H/10 M[2].
Mereka adalah sekelompok ilmuan muslim yang membentuk organisasi terselubung di
Basrah. Mereka bertujuan menyebar filsafat di kalangan umat Islam. Menurut
catatan sejarah, dengan cara inilah sekelompok filosof tersebut berupaya
memerangi khurafat yang dicampuradukkan dalam Islam dan membenahi umat Islam.
Selain menamakan dirinya sebagai Ikhwan as Shafa kelompok ini juga menamakan
dirinya Khulan Al Wafa, Ahl Al Adl dan Abna Al Hamd.
Ikhwan al-Shafa muncul setelah wafatnya al-Farabi. Kelompok
ini telah berhasil menghimpun pemikirannya dalam sebuah ensiklopedi tentang
ilmu pengetahuan dan filsafat yang dikenal dengan “Rasail Ikhwan al-Shafa”.
Identitas pemuka mereka tidak terang karena mereka bersama anggota mereka
memang merahasiakan diri.[3] Sebagai kelompok rahasia, Ikhwan al-Shafa dalam merekrut
anggota baru dilakukan lewat hubungan perorangan dan dilakukan oleh orang-orang
yang terpercaya.
Pusat kegiatan
operasi Ikhwan as Shafa dilakukan secara sembunyi-sembunyi di Bashrah, Irak
yang dimana pada saat itu menjadi salah satu pusat kota kedaulahan Bani Abbasiyah. Dimana pada zamannya penguasa melarang mengajarkan
kesusastraan, ilmu dan filsafat. Hal ini lah yang mendorong mereka
menyembunyikan identitasnya. Atau ada kemungkian kerahasiaan organisasi ini
dipengaruhi oleh paham taqiyah, karena basis kegiatannya berada di tengah
masyarakat mayoritas sunni. Boleh jadi juga, kerahasaiaan ini karena mendukung
paham Mu’tazilah yang telah dihapuskan oleh Khalifah Abbasiyah, Al-Mutawakil,
sebagai madzhab negara[4].
Kota Basrah merupakan tempat asal Ikhwan. Sumber-sumber arab
menyebutkan nama masing-masing secara berlainan dan, barangkali, ini merupakan
tindakan kerahasiaan yang berhasil mereka upayakan pada masa itu sehingga hanya
sedikit sekali yang kita ketahui tentang kahidupan mereka pada zaman kita
sekarang. Laksana perkemahan kekasih yang telah ditinggalkan dalam syair arab
kuno, jejak-jejak jalanan kehidupan mereka meredup dan tinggal bayang-bayang,
(Netton {1982}: 1).
Ikhwan as Shafa merupakan gerakan yang mempertahankan
semangat berfilsafat khususnya, dan pemikiran rasional
umumnya. Yang menarik, mayoritas anggota Ikhwan As Shafa berasal dari Iran. Di antara pembesar
Ikhwan Al-Shafa adalah Zaid bin Rafaah selaku ketua,
Ibn Al Rawandi dan Abu Hayyanal-Tauhidi.
Selain itu masih ada tokoh terkemuka lainnya adalah Ahmad ibnu Abd Allah, Abu Sulaiman
Muhammad Ibnu Nashr al-Busti yang terkenal dengan sebutan al-Muqaddasi, dan Abu
al-Hasan Ali ibnu Harun al-Zanjany.[5]
Dalam menjalankan perluasan gerakannya,
organisasi Ikhwan al-Shafa banyak merekrut calon-calon anggota perhimpunan yang
mampu berpegang teguh, saling membantu dan menopang satu sama lain baik dalam
perkara duniawi maupun rohani. Dalam keaggotaannya Ikhwan As Shafa mempunyai empat bagian atau tingkatan, diantaranya :
Tingkat I, adalah Ikhwan Al Abrar Al Ruhama terdiri dari pemuda cekatan yang berusia antara 15-30 tahun yang memiliki jiwa yang suci dan pikiran yang kuat. Mereka ini berstatus murid, maka wajib patuh dan tunduk secara sempurna kepada guru.
Tingkat ke II, adalah Al Ikhwan al-Akhyar berusia 30-40 tahun, pada tingkat
ini mereka sudah mampu memelihara peraudaraan, pemurah, kasih sayang dan siap
berkorban demi persaudaraan.
Tingkat III, adalah Al-Ikwan al-Fudhala al-Kiram berusia 40-50 tahun.
Merupakan tingkat dewasa. Mereka sudah mengetahui namus al-ilahi sebagai
tingkat para nabi.
Tingkat IV, adalah Al Kamal merupakan tingkat tertinggi setelah seseorang
mencapai usia 60 tahun ke atas. Mereka
pada tingkat ini sudah mampu memahami hakikat sesuatu, seperti halnya malaikat al-muqarrabun,
sehingga mereka sudah berada diatas alam realitas, syariat dan wahyu[6].
B.
Pemikiran Filsafat Ikhwan as Shafa
Pemikiran mereka
sangat layak dikaji karena lebih dari sekedar kajian artifisial, di samping
Ikhwan sangat dikenal di Timur Tengah, sebagaimana Hegel, Kant, dan Voltaire
yang sangat dikenal dibarat. Penyebutan diri mereka sebagai “Orang-orang yang
tertidur dalam gua Adam” sebagaimana dalam kitabnya Rasa’il yang diambil dari Al-Qur’an dan Tauhid orang yang tertidur
dalam legenda Ephesus, mencerminkan misteri identitas mereka. Pengaruh gagasan
Plato, Aristoteles dan terutama, Plotinus, ada dalam filsafat Ikhwan.
Dalam mempelajari ilmu pengetahuan, Ikhwan al-Shafa mencoba
meng-integrasikan antara ilmu agama dan umum. Mereka mengatakan bahwa kebutuhan
jiwa manusia terhadap ilmu pengetahuan tidak memiliki keterbatasan pada ilmu
agama (naqliyah) semata. Manusia juga memerlukan ilmu umum (aqliyah).
Dalam hal ini, ilmu agama tidak bisa berdiri sendiri melainkan perlu bekerja
sama dengan ilmu-ilmu aqliyah, terutama ilmu-ilmu kealaman dan filsafat.
Menurut Ikhwan al-Shafa, pengetahuan umum dapat diperoleh
dengan tiga cara, yaitu:
1)
Dengan
pancaindera. Pancaindera hanya dapat memperoleh pengetahuan tentang
perubahan-perubahan yang mudah ditangkap oleh indera, dan yang kita ketahui
hanyalah perubahan-perubahan ruang dan waktu.
2)
Dengan
akal prima atau berpikir murni. Akal murni juga harus dibantu oleh indera.
3)
Melalui
inisiasi. Cara ini berkaitan erat dengan doktrin esoteris Ikhwan al-Shafa.
Dengan cara ini seseorang mendapatkan ilmu pengetahuan secara langsung dari
guru, yakni guru dalam pengertian seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya. Guru
mendapatkan ilmunya dari Imam (pemimpin agama) dan Imam dari Imam lain, dan
para Imam mendapatnya dari Nabi, dan Nabi dari Allah, sumber ilmu paling akhir.[7]
Konsep Imam ini disinyalir bahwa Ikhwan al-Shafa mengadopsi konsep imam dalam
pemahaman Syi’ah, yang lebih menekankan pada sikap eksklusif dalam memilih imam
dari kelompoknya sendiri.
Dalam hal anak didik, Ikhwan al-Shafa memandang bahwa
perumpamaan orang yang belum dididik ilmu akidah ibarat kertas yang masih putih
bersih, belum ternoda apapun juga. Apabila kertas ini ditulis sesuatu, maka
kertas tersebut telah memiliki bekas yang tidak mudah dihilangkan.[8]
Pandangan ini lebih dekat dengan teori Tabula Rasa John Locke (empirisme).
Aliran ini menilai bahwa awal pengetahuan terjadi karena pancaindera
berinteraksi dengan alam nyata. Sebelum berinteraksi dengan alam nyata itu di
dalam akal tidak terdapat pengetahuan apapun.
Ikhwan al-Shafa berpendapat bahwa ketika lahir, jiwa manusia
tidak memiliki pengetahuan sedikitpun. Proses memperoleh pengetahuan
digambarkan Ikhwan secara dramatis dilakukan melalui pelimpahan (al-faidh).
Proses pelimpahan tersebut bermula dari jiwa universal (al-nafs al-kulliyah)
kepada jiwa manusia, setelah terlebih dahulu melalui proses emanasi. Pada
mulanya, jiwa manusia kosong. Setelah indera berfungsi, secara berproses
manusia mulai menerima rangsangan dari alam sekitarnya. Semua rangsangan
inderawi ini melimpah ke dalam jiwa. Bagi Ikhwan, sosok guru dikenal dengan ashhab
alnamus. Mereka itu adalah mu’allim, ustadz dan mu’addib.
Guru ashhab alnamus adalah malaikat, dan guru malaikat adalah jiwa yang
universal, dan guru jiwa universal adalah akal aktual; dan akhirnya Allah-lah
sebagai guru dari segala sesuatu.
Ikhwan Ash-Shafa’ membagi pengetahuan pada
tiga kelompok, yaitu:
1.
Pengetahuan adab/sastra,
2.
Pengetahuan syariat, dan
3.
Pengetahuan filsafat. Pengetahuan
filsafat, mereka bagi menjadi empat bagian. Yaitu:
a.
Pengetahuan matematika,
b.
Pengetahuan logika,
c.
Pengetahuan fisika, dan
d.
Pengetahuan ilahiyah/metafisika.
Pengetahuan syariat adalah pengetahuan
nubuwwah yang disampaikan oleh para
nabi, sedangkan pengetahuan adab/sastra dan pengetahuan filsafat merupakan
hasil upaya jiwa manusia. Bagi mereka, pengetahuan yang paling mulia adalah
pengetahuan syariat atau nubuwwah,
yakni pengetahuan yang diperoleh para nabi melalui wahyu, sedangkan yang paling
mulia sesudahnya adalah pengetahuan filsafat, yakni pengetahuan yang diperoleh
tidak mengetahui wahyu, tetapi melalui pemikiran akal yang mendalam.
Dilihat dari segi
objek pengetahuan, dalam pengajaran Ikhwan Ash-Shafa’, pengetahuan yang paling
mulia adalah pengetahuan tentang Tuhan dan sifat-sifat yang layak bagi-Nya,
kemudian menyusul pengetahuan tentang hakikat jiwa, hal-ihwalnya, dan
hubungannya dengan raga (tubuh), keberadaannya yang sementara dalam tubuh,
kelepasannya dari tubuh, dan keberadaannya kembali di alam jiwa. Selanjutnya
adalah pengetahuan tentang hari berbangkit (kiamat), hari berhimpun, hari
penghitungan amal, hari masuk surga/neraka, dan perjumpaan dengan Tuhan. Mereka
mengajarkan supaya para anggota jemaah Ikhwan Ash-Shafa mempelajari semua
pengetahuan, tidak mengabaikan suatu buku, dan tidak fanatik terhadap salah
satu mazhab agama.
1.
Tawfiq dan at Talqif
(memadukan)
Filsafat ini
berorientasi pada merekonsilisasikan atau menyelaraskan antara agama dan
filsafat dan antar agama-agama yang ada sehingga muncul spekulasi pendapat
mereka adanya perpaduan agama-agama yang sedang berkembang saat itu berasaskan
filsafat, seperti Islam, kristen. Karena menurut mereka tujuan semua agama sama yaitu untuk mendekatkan diri kepada
tuhan. Sebab-sebab yang membuat tiap
agama menjadi berbeda dengan yang lain hanyalah faktor kebetulan yang meliputi,
ras, tempat tinggal dan kondisi zaman serta watak personal para pemeluk agama.
Argumen berkaitan
dengan usaha memadukan agama-agama yang ada dengan filsafat oleh Ikhwan as
Shafa bahwa mereka menyatakan apabila dipertemukan antara filsafat Yunani dan
syari’at Arab, maka akan menghasilkan formulasi-formulasi yang lebih sempurna.
Ikhwan as Shafa menempatkan filsafat menjadi landasan agama yang di padukan
dengan ilmu.
Terkait dengan
filsafat yang menjadi landasan agama yang dipadukan dengan ilmu di dukung
dengan argumen mereka dalam bidang agama. Menurut mereka ungkapan al-quran yang
berkonotasi indrawi dimaksudkan agar cocok dengan nalar orang Arab badui yang
berkebudayaan bersahaja.
2.
Metafisika
Ada pengaruh Neo-Phytagoreanisme yang dipadukan dengan filsafat keesaan Platonius pada Ikhwan as Shafa. Mereka berargumen bahwa
pengakuan pada angka-angka membawa pada ke Esaan Allah. Ikhwan As-Shafa meyakini bahwa pengetahuan tentang bilangan
akan membawa pemiliknya menuju pengakuan atas ke-Esaan Tuhan. Ke-Esaan Tuhan di
simbolkan dengan eksistensi angka 1, jika angka ini rusak, maka rusaklah
keseluruhan realitas. Angka satu adalah awal yang mendahului angka-angka lain.
Dengan perkembangan ini, Ikhwan As-Shafa percaya bahwa tuhanlah yang mendahului
wujud-wujud lain. Kalangan pemikir Ikhwan As-Shafa menekankan persoalan
al-Tanzih dan menolak prinsip tasybih bagi Tuhan. Tidak ada perumpamaaan apapun
yang dapat digunakan untuk Tuhan.
3.
Emanasi (al-Fadl)
Berkaitan dengan penciptaan alam,
pemikiran Ikhwan as Shafa merupakan perpaduan antara filsafat Aristoteles, Plato
dan Mutakalimin. Bagi mereka tuhan adalah pencipta dan mutlak Esa. Para pemikir ikhwan As-Shafa
meyakini bahwa Tuhan adalah
pencipta yang manunggal bilangannya. Dengan kehendak-Nya, terciptalah akal
pertama yang merupakan akal aktif (al-‘aql al-fa’la). Karena tuhan adalah qodim
dan baqa’. Akal yang pertama ini sudah di lengkapi dengan ragam potensialitas
yang kemudian nanti diaktualisasikan dalam tahap-tahap emanasi lanjutan. Secara
tidak langsung, tuhan akan terus berhubungan dengan materi sampai kemurnian
Esa-Nya terpelihara sebaik-baiknya. Lengkapnya rangkaian proses emanasi itu
adalah:
1)
Akal pertama atau akal aktif
2)
Jiwa universal
3)
Materi pertama
4)
Potensi jiwa universal
5)
Materi absolut atau meteri ke dua
6)
Alam planet-planet
7)
Anasir-anasir alam terindah,
yaitu air, udara, tanah dan api
8)
Materi gabungan yang terdiri dari
material tumbuh-tumbuhan dan hewan.
Kedelapan mahiyah tersebut bersama dengan dzat
Tuhan sempurnalah bilangan menjadi sembilan. Angka 9 ini membentuk substansi
organik pada tubuh manusia yaitu tulang, sum-sum, daging, urat, darah, syaraf,
kulit, rambut dan kuku[9].
Perumpamaan sembilan susunan
organ manusia (tulang, sumsum, daging, urat, darah, saraf, kulit, rambut dan
kuku), sama persis dengan susunan sembilan bola langit yang meliputi jupiter,
saturnus, mars, matahari, venus, merkurius, bulan, atmosfer, dan bumi. Tidak
hanya itu 12 tanda zodiak sama dengan 12 lubang tubuh manusia (2 mata, 2
telinga, 2 hidung, 1 mulut, 2 puting, 1 pusar dan 2 jalan pengeluaran).
Daya-daya fisik dan spiritual tujuh planet sama dengan 7 daya fisik manusia
(menarik, meraih, mencerna, mendorong, makan, tumbuh dan melukiskan) dan 7 daya
spiritual manusia yang terdiri dari; melihat, mendengar, merasa, mencium,
menyentuh, berbicara dan berpikir. Empat unsur dasar semesta (air, udara,
tanah, api) sama dengan kepala, dada, kantong makanan dan perut.
Ikhwan As-shafa memandang bahwa
konfigurasi bola dunia dan fenomena meteorologis mempunyai analogi terbentuk
dengan tubuh manusia, tulang-tulang manusia di pandang sebagai gugus
pegunungan, sumsum manusia sebagai biji-biji logam, perut sebagai laut, usus
sebagai sungai-sungai, pembuluh-pembuluhnya sebagai anak sungai dan dagingnya
sebagai tanah, rambutnya sebagai tumbuhan, nafasnya seabagai angin, ucapannya
sebagai halilintar, tertawanya sebagai siang, air matanya sebagi hujan,
tidurnya sebagai kematian dan sadarnya sebagai kelahiran kembali. Pandangan ini
di adopsi dari pemikiran kaum stoik.
4.
Matematika
Dalam pembahasannya Ikhwan as
Shafa di pengaruhi oleh Phytagoras yang
mengutamakan pembahasan tentang angka atau bilangan. Bagi mereka angka-angka
itu mempunyai arti spekulatif yang dapat
dijadikan dalil wujuh sesuatu oleh sebab itu, ilmu hitung merupakan ilmu yang
paling mulia dibanding ilmu empirik karena tergolong ilmu ketuhanan.
5.
Jiwa
Tentang jiwa manusia, bersumber
dari jiwa universal. Dalam perkembang-an jiwa manusia banyak di pengaruhi oleh
materi yang mengitarinya. Agar jiwa tidak kecewa dalam perkembangannya, maka
jiwa dibantu oleh akal yang merupakan daya bagi jiwa untuk berkembang. Dalam
tubuh manusia, jiwa memiliki 3 fakultas :
a.
Jiwa tumbuhan yaitu jiwa yang
dimiliki semua makhluk hidup. Jiwa ini terbagi dalam tiga daya yaitu makan,
tumbuh dan reproduksi.
b.
Jiwa hewan yaitu dimiliki oleh
hewan dan manusia. Jiwa ini memiliki dua daya yaitu penggerak dan sensasi.
c.
Jiwa manusia yaitu jiwa yang
menyebabkan manusia berfikir dan berbicara.
6.
Moral
Pandangan moral Ikhwan as Shafa
bersifat rasionalistik. Untuk itu segala tindakan harus berlangsung bebas. Doktrin
moral yang di tekankan dalam kelompok ini adalah penanaman kesabaran,
ketabahan, kelembutan hati, kehalusan, pekerti dan kasih sayang antar sesama.
Bersamaan dengan upaya penanaman sifat-sifat terpuji tersebut, Ikhwan As-Shafa
berupaya untuk menjauhkan manusia, manusia dari penggunaan tutur bahasa yang
kasar, kemunafikan, kedzaliman, penipuan, dan kepalsuan yang mengotori
persaudaraan.
Ikhwan As-Shafa pun mengakui
bahwa pengetahuan akan Tuhan, dalam
disiplin moral, mengandaikan ketidak mungkinan manusia untuk mengetahui
keseluruhan tentangnya. Imbas dari pengetahuan ini, Ikhwan As-Shafa menerima
dengan ikhlas. Fungsi kenabian dalam kehidupan manusia dengan kata lain, Ikhwan
As-Shafa menyeru manusia untuk tunduk pada risalah kenabian, mengikuti
ajaran-ajaran nabi, karena nabi adalah “lisan” tuhan dalam kehidupan.
C.
Karya-Karya Ikhwan
as Shafa
Para anggota Ikhwan
al-Shafa mampu menguasai ilmu-ilmu yang berkembang saat itu. Mereka juga saling
bertukar pendapat soal wawasan agama, sejarah peradaban dan syariat. Hasil
pemikiran Ikhwan al-Shafa tertuangkan dalam makalah dan risalah yang hingga
kini bisa diakses.
Kelompok ini meninggalkan
banyak karya. Di antara karya yang terkenal adalah Risalah Ikhwan al-Shafa
yang mencakup 51 makalah. Ini adalah karya Ikhawan as Shafa yang terpopuler.
Lima puluh makalah dari risalah itu mencakup berbagai masalah seperti ilmu
alam, matematika, ilmu ketuhanan, agama serta berbagai masalah akal dan sosial.
Adapun makalah ke-51 membahas bagian-bagian kelompok dan cara berinterkasi
antar anggota Ikhwan al-Shafa, serta menjelaskan pendaftaran keanggotaan
kelompok ini[10].
Pertemuan-pertemuan yang
diselenggrakan Ikhwan al-Shafa sebagai mana yang disebutkan diatas mampu
menghasilkan 52 risalah yang mereka namakan Risalah Ikhwan al-Shafa.
Rasail ini di klasifikasikan menjadi empat bidang yaitu :
1.
14 risalah matematika meliputi
Geometri, Astronomi, musik, geografi, teori dan praktik seni, moral dan logika.
2.
17 risalah fisika dan ilmu alam
yang mencakup Geneologi, minerologi, botani, hidup-matinya alam, keterbatasan
manusia dan kebangkitan alam.
3.
10 risalah ilmu jiwa yang
mengadopsi pemikiran Phytagoreanisme.
4.
11 mengakhiri empat jilid edisi
arab terakhir dengan memusatkan perhatian pada apa yang disebut dengan
metafisika atau ilmu teologis.[11]
Ikhwan al-Safa’
(1928: II:316) menjelaskan bahwa ahli falsafah yang sebenarnya haruslah
mempunyai ciri-ciri berikut, Beragama Islam, berpendidikan dari Iraq
(babylonia), pintar seperti orang yahudi, bermetodologikan pengikut nabi Isa,
warak seperti rahib Syiria, berilmu seperti Ilmuan Greek, berkebolehan meramal
misteri seperti Ilmuan India, dan yang terakhir dan terpenting berjiwa ahli sufi
dalam keseluruhan hidup spiritualnya.[12] Dari pembahasan diatas,
kita telah dapat membuktikan keluasan dan kedalaman pemikiran filsafat islam.
Sebagaimana filsafat lain, filsafat islam mempunyai kedudukan yang amat penting
dalam dunia pemikiran filsafat. Bahkan orang barat tidak akan mengenal filsafat
tanpa kontribusi islam. Seperti halnya ikhwan as shafa yang menjadikan
matematika atau bilangan sebagai carapendang memahami tentang ke Esaan Allah,
dan juga usaha kelompok ini untuk memadukan antara beberapa ajaran dan
keyakinan dengan filsafat.
D.
Pengaruh
Pemikiran Ikhwan As Shafa
Pengaruh pemikiran
Ikhwan As Shafa banyak ditemukan pada syi’ah isma’iliyah, karya-karya ikhwan as
shafa, terutama Rasa’il dijasikan sebagai pedoman bagi aliran mereka. Kaum
ismaili merasa bahwa para filosof terlalu memusatkan perhatian pada unsur-unsur
eksternal dan rasionalistik agama dan mengabaikan inti spiritualnya. Meski
menentang pemikiran yang bebas Ar Razi, mereka juga mengembangkan filsafat dan
sains sendiri, yang tidak dipandang sebagai tujuan akhir tetapi sebagai latihan
spiritual untuk memampukan mereka memahami makna batik Al Quran. Berkontemplasi
tentang abstraksi sains dan metematika memurnikan pikiran mereka dari tamsil
indrawi dan membebaskan mereka dari keterbatasan kesadaran sehari-hari. Kaum
ismaili umumnya adalah aktivis politik. Bahkan ja’far al shidiq imam ke enam
telah mendefinisikan iman sebagai tindakan. Menurut mereka, seperti halnya nabi dan para imam,
seorang mukmin harus menjadikan visinya tentang Tuhan membawa pengaruh pada
kehidupan di dunia.
Cita-cita ini juga
dipegang teguh oleh ikhwan as shafa, persaudaraan suci, sebuah kelompok
esoterik yang berkembang di Basrah selama abad kejayaan Syiah. Ikwan mungkin
merupakan anak cabang Ismailiyah. Sebagaimana kaum ismaili, mereka mengabdikan
diri pada pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya matematika dan astrologi dan
juga pada aksi politik. Seperti kaum ismaili, ikhwan juga mencari makna batin
yang tersembunyi dalam kehidupan. Surat-surat (rasail) mereka yang telah
menjadi ensiklopedi ilmu filsafat,sangat terkenal dan tersebar luas hingga ke
Spanyol yang jauh di sebelah barat. Ikwan juga memadukan sains dan mistisisme.
Matematika dipandang sebagai pengantar filsafat dan psikologi. Sejumlah
bilangan mengungkapkan berbagai kualitas yang inheren di dalam jiwa dan
merupakan metode konsentrasi yang membuat seorang ahli mampu menyadari sistem
kerja pikirannya. Sebagaimana St Agustinus yang memandang pengenalan diri
sangat diperlukan bagi pengenalan Tuhan, pemahaman diri yang mendalam juga
menjadi inti mistisisme islam. Kaum Sufi, ahli mistik sunni yang dengannya kaum
Syi’ah Ismailiyah merasa memiliki kitab erat, memiliki sebuah aksioma: “Siapa yang
mengenal dirinya pasti akan mengenal Tuhannya”. Aksioma ini tertulis dalam
surat pertama Ikhwan As Shafa. Ketika mereka berkontemplasi tentang bilangan-bilangan
jiwa, mereka terbawa kembali kepada Yang Esa, hakikat diri manusia di pusat
kedalaman jiwa. Ikwan juga sangat dekat dengan para filosof. Seperti halnya
kaum rasionalis muslim, mereka menekankan ketunggalan kebenaran, yang harus
dicari dimana saja. Seorang pencari tidak boleh “menolak ilmu apapun, mencela
kitab apa pun, bergantung secara fanatik pada suatu keyakinan apa pun”. Mereka
mengembangkan konsepsi ketuhanan Neoplatonis, yakni konsep Plotinus tentang
Yang Esa yang tak dapat dijangkau oleh pemahaman manusia. Seperti para
faylasuf, mereka lebih menyepakati doktrin emanasi Platonis dari pada doktrin
tradisional Al Quran tantang penciptaan ex
nihilo: dunia mengungkapkan akal ilahi dan manusia dapat berpartisipasi di
dalam yang ilahi dan kembali kepada Yang Esa dengan menyucikan kekuatan
nalarnya[13].
Dalam Stanford Encylopedia of Philosaopy, Carmela
Baffioni mengetakan bahwa pengaruh Rasa’il
terhadap literatur-literatur Isma’iliyyah di generasi sesudahnya di akui secara
luas oleh para peneliti. Isi Rosa’il
telah ditransmisikan dan dikembangkan oleh para pemikir setelahnya. Isma’ilisme jelas memiliki pengaruh
besar dalam pemikiran peradaban islam. Mereka pernah berhasil mendirikan
kekuasaan di Mesir, Maroko dan Syam lewat dinasti Fathimiyyah (909-1171 M).
Disisi lain, pengaruh
besar tersebut mendapat respon keras dari musuh-musuhnya. Hal ini berpuncak
ketika Kholifah Al Mustanjid memerintahkan untuk membakar rosa’il (beserta karya Ibnu Sina) pada tahun 555H/160 M. Kejadian
ini patut disesalkan, karena kalaupun kita mencoba ada di pihak al Mustanjid,
kebijakan seperti itu sebenarnya tidak akan menyelesaikan persoalan. Tapi
tentunya sikap zalim penguasa seperti itu jelas tidak bisa didukung oleh orang
benar-benar yang ingin menegakan keadilan. Tidak sepakat dengan suatu ide tidak
bisa dijadikan dasar untuk bersikap zalim terhadap para pendukung ide tersebut
atau rekamannya yang tertoreh di dalam buku. Namun terlepas dari apapun yang
telah diperbuat musuh-musuh Ikwan As Shafa, kenyataan menunjukan bahwa rasail
tetap hidup hingga sekarang.
Al Qafthi penulis “Sejarah Para Filosof” berkenaan dengan “Ikhwan As Shafa” menulis:
“... dalam rangka menjaga kesucian, ketaqwaan dan kebenaran,
mereka (Ismailiyyah) membentuk sebuah perhimpunan di antara mereka sendiri menerima
pelatihan-pelatihan dan pendidikan dengan berharap Tuhan juga menerima”.
Menurut keyakinan
mereka, sistem agama karena pengaruh kebodohan dan kesalahan telah mengalami
kerusakan dan kehancuran dan tidak ada perantara lain untuk mensucikan dirinya
bersatu ma’rifat keimanan dan pusaka terealisasikannya rasionalitas. Mareka
meyakini bahwa jika filsafat Yunani dan agama Arab (Islam) digabungkan, maka
akan diperoleh sebuah kesimpulan yang memuaskan dan sempurna. Berdasarkan
keyakinan inilah, mereka menghimpun 50 risalahpada setiap cabang-cabang
filsafat, baik itu yang nazari
(teoritis) maupun yang ‘amali
(praktis) dan mereka menambahkan daftar isi yang berbeda untuk masing-masingnya,
maka dikenalakan kumpulan risalah-risalah itu dengan sebutan “Rasail Ikhwan As Shafa”
Para penulis
kitab-kitab selalu menyembunyikan nama-nama mereka, akan tetapi mereka
membagikan risalah-risalah mereka kepada para pedangan buku dan masyarakat.
Lembaran-lemabaran risalah ikhwan as shafa dipenuhi kaya-kata pendek,
cerita-cerita keagamaan, interpretasi-interpretasi kiasan dann puitis dan kinayah serta ibarat-ibarat yang
bernilai sastra.
Para penganut
ismailiyyah, sebagaimana yang dikemukakan Ivanef (seorang pakar ismailiyyah),
bahkan sampai hari ini pun masih
bersandar pada Rasail Ikhwan As
Shafa. Bahkan lebih jauh, mereka mengatakan
bahwa Rasail adalah “Quran ke dua” atau “Quran ilmu” di hadapan “Quran Wahyu”.
Risalah-risalah itu dinakmakan “rasail ikwan As shafa, Quran lain setelah kitab
Al Quran. Dengan artian lain, risalah-risalah ini adalah Quran ilmu sebagaimana
kitab Al Quran adalah wahyu. Rasail adalah “Quran Imamiah” dan kitab suci Al
Quran adalah “Quran Nubuwah”.
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Ikhwan as Shafa di gunakan untuk menunjukan kepada
sekelompok pemikir filsafat dari kalangan umat Islam bernama Syi’ah Isma’iliyah
pada abad ke 4 H/10 M. Mereka adalah sekelompok ilmuwan muslim yang membentuk
organisasi terselubung di Basrah. Di antara pembesar Ikhwan
Al-Shafa adalah Zaid bin Rafaah selaku ketua,
Ibn Al Rawandi dan Abu Hayyanal-Tauhidi.
Selain itu masih ada tokoh terkemuka lainnya adalah Ahmad ibnu Abd Allah, Abu Sulaiman
Muhammad Ibnu Nashr al-Busti yang terkenal dengan sebutan al-Muqaddasi, dan Abu
al-Hasan Ali ibnu Harun al-Zanjany
Dalam keaggotaannya Ikhwan al-Shafa mempunyai
empat bagian atau tingkatan, diantaranya : Tingkat I, adalah Ikhwan Al Abrar Al Ruhama, Tingkat ke
II, adalah Al Ikhwan al-Akhyar, Tingkat III, adalah Al-Ikwan al-Fudhala
al-Kiram
Tingkat IV, adalah Al Kamal
Diantara Pemikiran
Filsafatnya yaitu ; Tawfiq dan at Talqif , Metafisika, Emanasi (al-Fadl),
Matematika, Jiwa, Moral
Karya-Karya Ikhwan as Shafa, diantaranya
;
a.
14 risalah matematika meliputi
Geometri, Astronomi, musik, geografi, teori dan praktik seni, moral dan logika.
b.
17 risalah fisika dan ilmu alam
yang mencakup Geneologi, minerologi, botani, hidup-matinya alam, keterbatasan
manusia dan kebangkitan alam.
c.
10 risalah ilmu jiwa yang
mengadopsi pemikiran Phytagoreanisme.
d.
11 risalah soal ilmu-ilmu
Ketuhanan yang membicarakan persoalan kepercayaan dan keyakinan, hubungan alam
dan tuhan, ihwal kenabian, tindakan
ruhani, kekuasaan tuhan, magic dan jimat.
B.
Saran
Alhamdulilah kami pemakalah kelompok
empat sudah menyelesaikan makalah yang berjudul Ikhwan as Shafa, semoga dengan
penulisan makalah ini bisa menjadi bahan pertimbangan dan rujukan dimasa yang
akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Aziz Dahlan, 2003, Pemikiran
Falsafi dalam Islam, Jakarta: Djambatan
Abuddin Nata, 1997 Filsafat Pendidikan Islam 1, Jakarta:
Logos Wacana Ilmu
Dedi supriyadi,
2009, Filsafat Islam
(Konsep, Filsuf, dan Ajarannya), Bandung:
Pustaka Setia.
Karen Armstrong, Sejarah Tuhan: Kisah Pencarian Tuhan yang
dilakukan Oleh Orang-Orang Yahudi, Kristen, dan Islam selama 4.000 Tahun,
Bandung; Mizan 2022
Ferry, ikhwanus
shafa Wed 23 Jul 2008 12:35:57 +0700,
http//
Hasan
Basri dan Zainal Mufti. Filsafat Islam.
Bandung : CV. Insan Mandiri
Hasyimsyah
Nasution, 1999, Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama
Kebudayaan dan Peradaban Islam;
Ikhwan al-Shafa dan Filsafat Islam
Mohd. Nasir Omar, Gagasan Islamisasi Ilmu. http://books.google.co.id. page 15, diakses
tanggal 01 Oktober 2013 jam 13:21.
[10]Kebudayaan dan Peradaban Islam; Ikhwan al-Shafa dan Filsafat Islam, Kamis, 2013 Agustus 22 13:10.
[12]Mohd.
Nasir Omar, Gagasan Islamisasi Ilmu. http://books.google.co.id. page
15, diakses tanggal 01 Oktober 2013 jam 13:21.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar