Senin, 07 April 2014

filosof Ikhwan as Shafa



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Istilah ber-filsafat ialah berfikir tentang sesuatu secara mendalam dan mengakar demi mendapatkan jawaban yang pasti  tentang sesuatu yang masuk akal sesuai dengan nalar manusia. Filsafat hadir sebagai induk dari semua ilmu pengetahuan yang lahir pada zaman ini, karena melalui filsafat telah banyak hal baru yang dapat ditemukan. Dalam dunia islam, filsafat lahir ketika filsafat barat sedang mengalami keterpurukan karena adanya larangan gereja untuk berfilsafat. Berbeda dengan Filsafat Barat yang objek kajiannya pada ilmu pengetahuan (science), dalam Filsafat Islam akan di urai pembicaraan tentang Tuhan. Diantara banyaknya tokoh-tokoh filosof Islam yang banyak bermunculan salah satu yang juga memberikan kontribusi dalam dunia filsafat Islam yaitu “Ikhwan as Shafa”. Ikhwan as Shafa merupakan sekumpulan filosofis berpaham Syi’ah yang berada di kota Bashrah.
Organisasi ini juga mengajarkan tentang dasar-dasar Islam yang didasarkan oleh persaudaraan Islamiyah (ukhuwah Islamiyah), yaitu sikap yang memandang iman seseorang muslim tidak akan sempurna kecuali ia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri[1]. Sebagaimana tokoh-tokoh terkenal filsafat lainnya yang telah menghasilkan karya besar, Ikhwan as Shafa hadir dengan membawa pemikiran yang dapat dirasakan manfaat dari karyanya sebagai bahan referensi keilmuan Islam.
B.       Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas penulis merumuskan masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana latar belakang adanya para filosof yang tergabung dalam Ikhwan as Shafa?
2.      Bagaimanakah kajian filsafat yang dibicarakan Ikhwan as Shafa?
3.      Apa sajakah karya-karya yang telah dihasilkan oleh Ikhwan as Shafa?

C.      Tujuan Pembahasan
Penulisan makalah ini bertujuan agar para pembaca mampu mengerti dan memahami:
1.      Latar belakang adanya para filosof Ikhwan as Shafa
2.      Paham filsafat yang dikaji oleh Ikhwan as Shafa
3.      Karya-karya yang dihasilkan oleh Ikhwan as Shafa


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Latar Belakang Ikhwan as Shafa
Dalam bahasa Arab kata ikhwan dapat diartikan sebagai saudara yang terambil dari kata al-akh. Sedangkan kata Al Shafa sendiri berarti suci atau kesucian. Sedangkan dalam referensi lain, Ikhwan As-Shafa (Arab الصفا اخوان; terjemahan: Persaudaraan Kemurnian) adalah sebuah organisasi rahasia yang aneh dan misterius yang terdiri dari para filsuf Arab Muslim, yang berpusat di Basra, Irak yang saat itu merupakan ibukota Kekhalifahan Abbasiyah di sekitar abad ke-10 Masehi.
Adapun secara terminologi Ikhwan as Shafa digunakan untuk menunjukan kepada sekelompok pemikir filsafat dari kalangan umat Islam bernama Syi’ah Isma’iliyah pada abad ke 4 H/10 M[2]. Mereka adalah sekelompok ilmuan muslim yang membentuk organisasi terselubung di Basrah. Mereka bertujuan menyebar filsafat di kalangan umat Islam. Menurut catatan sejarah, dengan cara inilah sekelompok filosof tersebut berupaya memerangi khurafat yang dicampuradukkan dalam Islam dan membenahi umat Islam. Selain menamakan dirinya sebagai Ikhwan as Shafa kelompok ini juga menamakan dirinya Khulan Al Wafa, Ahl Al Adl dan Abna Al Hamd.
Ikhwan al-Shafa muncul setelah wafatnya al-Farabi. Kelompok ini telah berhasil menghimpun pemikirannya dalam sebuah ensiklopedi tentang ilmu pengetahuan dan filsafat yang dikenal dengan “Rasail Ikhwan al-Shafa”. Identitas pemuka mereka tidak terang karena mereka bersama anggota mereka memang merahasiakan diri.[3] Sebagai kelompok rahasia, Ikhwan al-Shafa dalam merekrut anggota baru dilakukan lewat hubungan perorangan dan dilakukan oleh orang-orang yang terpercaya.
Pusat kegiatan operasi Ikhwan as Shafa dilakukan secara sembunyi-sembunyi di Bashrah, Irak yang dimana pada saat itu menjadi salah satu pusat kota kedaulahan Bani Abbasiyah. Dimana pada zamannya penguasa melarang mengajarkan kesusastraan, ilmu dan filsafat. Hal ini lah yang mendorong mereka menyembunyikan identitasnya. Atau ada kemungkian kerahasiaan organisasi ini dipengaruhi oleh paham taqiyah, karena basis kegiatannya berada di tengah masyarakat mayoritas sunni. Boleh jadi juga, kerahasaiaan ini karena mendukung paham Mu’tazilah yang telah dihapuskan oleh Khalifah Abbasiyah, Al-Mutawakil, sebagai madzhab negara[4].
Kota Basrah merupakan tempat asal Ikhwan. Sumber-sumber arab menyebutkan nama masing-masing secara berlainan dan, barangkali, ini merupakan tindakan kerahasiaan yang berhasil mereka upayakan pada masa itu sehingga hanya sedikit sekali yang kita ketahui tentang kahidupan mereka pada zaman kita sekarang. Laksana perkemahan kekasih yang telah ditinggalkan dalam syair arab kuno, jejak-jejak jalanan kehidupan mereka meredup dan tinggal bayang-bayang, (Netton {1982}: 1).
Ikhwan as Shafa merupakan gerakan yang mempertahankan semangat berfilsafat khususnya, dan pemikiran rasional umumnya. Yang menarik, mayoritas anggota Ikhwan As Shafa berasal dari Iran. Di antara pembesar Ikhwan Al-Shafa adalah Zaid bin Rafaah selaku ketua, Ibn Al Rawandi dan Abu Hayyanal-Tauhidi. Selain itu masih ada tokoh terkemuka lainnya adalah Ahmad ibnu Abd Allah, Abu Sulaiman Muhammad Ibnu Nashr al-Busti yang terkenal dengan sebutan al-Muqaddasi, dan Abu al-Hasan Ali ibnu Harun al-Zanjany.[5]
Dalam menjalankan perluasan gerakannya, organisasi Ikhwan al-Shafa banyak merekrut calon-calon anggota perhimpunan yang mampu berpegang teguh, saling membantu dan menopang satu sama lain baik dalam perkara duniawi maupun rohani. Dalam keaggotaannya Ikhwan As Shafa mempunyai empat bagian atau tingkatan, diantaranya :
            Tingkat I,  adalah Ikhwan Al Abrar Al Ruhama terdiri dari pemuda cekatan yang berusia antara 15-30 tahun yang memiliki jiwa yang suci dan pikiran yang kuat. Mereka ini berstatus murid, maka wajib patuh dan tunduk secara sempurna kepada guru. 
Tingkat ke II, adalah Al Ikhwan al-Akhyar berusia 30-40 tahun, pada tingkat ini mereka sudah mampu memelihara peraudaraan, pemurah, kasih sayang dan siap berkorban demi persaudaraan.
Tingkat III, adalah Al-Ikwan al-Fudhala al-Kiram berusia 40-50 tahun. Merupakan tingkat dewasa. Mereka sudah mengetahui namus al-ilahi sebagai tingkat para nabi.
Tingkat IV, adalah Al Kamal merupakan tingkat tertinggi setelah seseorang mencapai usia 60 tahun ke atas.  Mereka pada tingkat ini sudah mampu memahami hakikat sesuatu, seperti halnya malaikat al-muqarrabun, sehingga mereka sudah berada diatas alam realitas, syariat dan wahyu[6].

B.     Pemikiran Filsafat Ikhwan as Shafa
Pemikiran mereka sangat layak dikaji karena lebih dari sekedar kajian artifisial, di samping Ikhwan sangat dikenal di Timur Tengah, sebagaimana Hegel, Kant, dan Voltaire yang sangat dikenal dibarat. Penyebutan diri mereka sebagai “Orang-orang yang tertidur dalam gua Adam” sebagaimana dalam kitabnya Rasa’il yang diambil dari Al-Qur’an dan Tauhid orang yang tertidur dalam legenda Ephesus, mencerminkan misteri identitas mereka. Pengaruh gagasan Plato, Aristoteles dan terutama, Plotinus, ada dalam filsafat Ikhwan.
Dalam mempelajari ilmu pengetahuan, Ikhwan al-Shafa mencoba meng-integrasikan antara ilmu agama dan umum. Mereka mengatakan bahwa kebutuhan jiwa manusia terhadap ilmu pengetahuan tidak memiliki keterbatasan pada ilmu agama (naqliyah) semata. Manusia juga memerlukan ilmu umum (aqliyah). Dalam hal ini, ilmu agama tidak bisa berdiri sendiri melainkan perlu bekerja sama dengan ilmu-ilmu aqliyah, terutama ilmu-ilmu kealaman dan filsafat.
Menurut Ikhwan al-Shafa, pengetahuan umum dapat diperoleh dengan tiga cara, yaitu:
1)      Dengan pancaindera. Pancaindera hanya dapat memperoleh pengetahuan tentang perubahan-perubahan yang mudah ditangkap oleh indera, dan yang kita ketahui hanyalah perubahan-perubahan ruang dan waktu.
2)      Dengan akal prima atau berpikir murni. Akal murni juga harus dibantu oleh indera.
3)      Melalui inisiasi. Cara ini berkaitan erat dengan doktrin esoteris Ikhwan al-Shafa. Dengan cara ini seseorang mendapatkan ilmu pengetahuan secara langsung dari guru, yakni guru dalam pengertian seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya. Guru mendapatkan ilmunya dari Imam (pemimpin agama) dan Imam dari Imam lain, dan para Imam mendapatnya dari Nabi, dan Nabi dari Allah, sumber ilmu paling akhir.[7] Konsep Imam ini disinyalir bahwa Ikhwan al-Shafa mengadopsi konsep imam dalam pemahaman Syi’ah, yang lebih menekankan pada sikap eksklusif dalam memilih imam dari kelompoknya sendiri.
Dalam hal anak didik, Ikhwan al-Shafa memandang bahwa perumpamaan orang yang belum dididik ilmu akidah ibarat kertas yang masih putih bersih, belum ternoda apapun juga. Apabila kertas ini ditulis sesuatu, maka kertas tersebut telah memiliki bekas yang tidak mudah dihilangkan.[8] Pandangan ini lebih dekat dengan teori Tabula Rasa John Locke (empirisme). Aliran ini menilai bahwa awal pengetahuan terjadi karena pancaindera berinteraksi dengan alam nyata. Sebelum berinteraksi dengan alam nyata itu di dalam akal tidak terdapat pengetahuan apapun.
Ikhwan al-Shafa berpendapat bahwa ketika lahir, jiwa manusia tidak memiliki pengetahuan sedikitpun. Proses memperoleh pengetahuan digambarkan Ikhwan secara dramatis dilakukan melalui pelimpahan (al-faidh). Proses pelimpahan tersebut bermula dari jiwa universal (al-nafs al-kulliyah) kepada jiwa manusia, setelah terlebih dahulu melalui proses emanasi. Pada mulanya, jiwa manusia kosong. Setelah indera berfungsi, secara berproses manusia mulai menerima rangsangan dari alam sekitarnya. Semua rangsangan inderawi ini melimpah ke dalam jiwa. Bagi Ikhwan, sosok guru dikenal dengan ashhab alnamus. Mereka itu adalah mu’allim, ustadz dan mu’addib. Guru ashhab alnamus adalah malaikat, dan guru malaikat adalah jiwa yang universal, dan guru jiwa universal adalah akal aktual; dan akhirnya Allah-lah sebagai guru dari segala sesuatu.
 Ikhwan Ash-Shafa’ membagi pengetahuan pada tiga kelompok, yaitu:
1.      Pengetahuan adab/sastra,
2.      Pengetahuan syariat, dan
3.      Pengetahuan filsafat. Pengetahuan filsafat, mereka bagi menjadi empat bagian. Yaitu:
a.       Pengetahuan matematika,
b.      Pengetahuan logika,
c.       Pengetahuan fisika, dan
d.      Pengetahuan ilahiyah/metafisika. Pengetahuan syariat adalah pengetahuan nubuwwah  yang disampaikan oleh para nabi, sedangkan pengetahuan adab/sastra dan pengetahuan filsafat merupakan hasil upaya jiwa manusia. Bagi mereka, pengetahuan yang paling mulia adalah pengetahuan syariat atau nubuwwah, yakni pengetahuan yang diperoleh para nabi melalui wahyu, sedangkan yang paling mulia sesudahnya adalah pengetahuan filsafat, yakni pengetahuan yang diperoleh tidak mengetahui wahyu, tetapi melalui pemikiran akal yang mendalam.
Dilihat dari segi objek pengetahuan, dalam pengajaran Ikhwan Ash-Shafa’, pengetahuan yang paling mulia adalah pengetahuan tentang Tuhan dan sifat-sifat yang layak bagi-Nya, kemudian menyusul pengetahuan tentang hakikat jiwa, hal-ihwalnya, dan hubungannya dengan raga (tubuh), keberadaannya yang sementara dalam tubuh, kelepasannya dari tubuh, dan keberadaannya kembali di alam jiwa. Selanjutnya adalah pengetahuan tentang hari berbangkit (kiamat), hari berhimpun, hari penghitungan amal, hari masuk surga/neraka, dan perjumpaan dengan Tuhan. Mereka mengajarkan supaya para anggota jemaah Ikhwan Ash-Shafa mempelajari semua pengetahuan, tidak mengabaikan suatu buku, dan tidak fanatik terhadap salah satu mazhab agama.
1.      Tawfiq dan at Talqif (memadukan)
Filsafat ini berorientasi pada merekonsilisasikan atau menyelaraskan antara agama dan filsafat dan antar agama-agama yang ada sehingga muncul spekulasi pendapat mereka adanya perpaduan agama-agama yang sedang berkembang saat itu berasaskan filsafat, seperti Islam, kristen. Karena menurut mereka tujuan semua agama sama yaitu untuk mendekatkan diri kepada tuhan. Sebab-sebab yang membuat tiap agama menjadi berbeda dengan yang lain hanyalah faktor kebetulan yang meliputi, ras, tempat tinggal dan kondisi zaman serta watak personal para pemeluk agama.
Argumen berkaitan dengan usaha memadukan agama-agama yang ada dengan filsafat oleh Ikhwan as Shafa bahwa mereka menyatakan apabila dipertemukan antara filsafat Yunani dan syari’at Arab, maka akan menghasilkan formulasi-formulasi yang lebih sempurna. Ikhwan as Shafa menempatkan filsafat menjadi landasan agama yang di padukan dengan ilmu.
Terkait dengan filsafat yang menjadi landasan agama yang dipadukan dengan ilmu di dukung dengan argumen mereka dalam bidang agama. Menurut mereka ungkapan al-quran yang berkonotasi indrawi dimaksudkan agar cocok dengan nalar orang Arab badui yang berkebudayaan bersahaja.
2.      Metafisika
Ada pengaruh Neo-Phytagoreanisme yang dipadukan dengan filsafat keesaan Platonius pada Ikhwan as Shafa. Mereka berargumen bahwa pengakuan pada angka-angka membawa pada ke Esaan Allah. Ikhwan As-Shafa meyakini bahwa pengetahuan tentang bilangan akan membawa pemiliknya menuju pengakuan atas ke-Esaan Tuhan. Ke-Esaan Tuhan di simbolkan dengan eksistensi angka 1, jika angka ini rusak, maka rusaklah keseluruhan realitas. Angka satu adalah awal yang mendahului angka-angka lain. Dengan perkembangan ini, Ikhwan As-Shafa percaya bahwa tuhanlah yang mendahului wujud-wujud lain. Kalangan pemikir Ikhwan As-Shafa menekankan persoalan al-Tanzih dan menolak prinsip tasybih bagi Tuhan. Tidak ada perumpamaaan apapun yang dapat digunakan untuk Tuhan.
3.      Emanasi (al-Fadl)
Berkaitan dengan penciptaan alam, pemikiran Ikhwan as Shafa merupakan perpaduan antara filsafat Aristoteles, Plato dan Mutakalimin. Bagi mereka tuhan adalah pencipta dan  mutlak Esa. Para pemikir ikhwan As-Shafa meyakini bahwa Tuhan adalah pencipta yang manunggal bilangannya. Dengan kehendak-Nya, terciptalah akal pertama yang merupakan akal aktif (al-‘aql al-fa’la). Karena tuhan adalah qodim dan baqa’. Akal yang pertama ini sudah di lengkapi dengan ragam potensialitas yang kemudian nanti diaktualisasikan dalam tahap-tahap emanasi lanjutan. Secara tidak langsung, tuhan akan terus berhubungan dengan materi sampai kemurnian Esa-Nya terpelihara sebaik-baiknya. Lengkapnya rangkaian proses emanasi itu adalah:
1)      Akal pertama atau akal aktif
2)      Jiwa universal
3)      Materi pertama
4)      Potensi jiwa universal
5)      Materi absolut atau meteri ke dua
6)      Alam planet-planet
7)      Anasir-anasir alam terindah, yaitu air, udara, tanah dan api
8)      Materi gabungan yang terdiri dari material tumbuh-tumbuhan dan hewan.
Kedelapan mahiyah tersebut bersama dengan dzat Tuhan sempurnalah bilangan menjadi sembilan. Angka 9 ini membentuk substansi organik pada tubuh manusia yaitu tulang, sum-sum, daging, urat, darah, syaraf, kulit, rambut dan kuku[9].
Perumpamaan sembilan susunan organ manusia (tulang, sumsum, daging, urat, darah, saraf, kulit, rambut dan kuku), sama persis dengan susunan sembilan bola langit yang meliputi jupiter, saturnus, mars, matahari, venus, merkurius, bulan, atmosfer, dan bumi. Tidak hanya itu 12 tanda zodiak sama dengan 12 lubang tubuh manusia (2 mata, 2 telinga, 2 hidung, 1 mulut, 2 puting, 1 pusar dan 2 jalan pengeluaran). Daya-daya fisik dan spiritual tujuh planet sama dengan 7 daya fisik manusia (menarik, meraih, mencerna, mendorong, makan, tumbuh dan melukiskan) dan 7 daya spiritual manusia yang terdiri dari; melihat, mendengar, merasa, mencium, menyentuh, berbicara dan berpikir. Empat unsur dasar semesta (air, udara, tanah, api) sama dengan kepala, dada, kantong makanan dan perut.
Ikhwan As-shafa memandang bahwa konfigurasi bola dunia dan fenomena meteorologis mempunyai analogi terbentuk dengan tubuh manusia, tulang-tulang manusia di pandang sebagai gugus pegunungan, sumsum manusia sebagai biji-biji logam, perut sebagai laut, usus sebagai sungai-sungai, pembuluh-pembuluhnya sebagai anak sungai dan dagingnya sebagai tanah, rambutnya sebagai tumbuhan, nafasnya seabagai angin, ucapannya sebagai halilintar, tertawanya sebagai siang, air matanya sebagi hujan, tidurnya sebagai kematian dan sadarnya sebagai kelahiran kembali. Pandangan ini di adopsi dari pemikiran kaum stoik.
4.      Matematika
Dalam pembahasannya Ikhwan as Shafa di pengaruhi oleh Phytagoras  yang mengutamakan pembahasan tentang angka atau bilangan. Bagi mereka angka-angka itu mempunyai arti spekulatif  yang dapat dijadikan dalil wujuh sesuatu oleh sebab itu, ilmu hitung merupakan ilmu yang paling mulia dibanding ilmu empirik karena tergolong ilmu ketuhanan.
5.      Jiwa
Tentang jiwa manusia, bersumber dari jiwa universal. Dalam perkembang-an jiwa manusia banyak di pengaruhi oleh materi yang mengitarinya. Agar jiwa tidak kecewa dalam perkembangannya, maka jiwa dibantu oleh akal yang merupakan daya bagi jiwa untuk berkembang. Dalam tubuh manusia, jiwa memiliki 3 fakultas :
a.       Jiwa tumbuhan yaitu jiwa yang dimiliki semua makhluk hidup. Jiwa ini terbagi dalam tiga daya yaitu makan, tumbuh dan reproduksi.
b.      Jiwa hewan yaitu dimiliki oleh hewan dan manusia. Jiwa ini memiliki dua daya yaitu penggerak dan sensasi.
c.       Jiwa manusia yaitu jiwa yang menyebabkan manusia berfikir dan berbicara.
6.      Moral
Pandangan moral Ikhwan as Shafa bersifat rasionalistik. Untuk itu segala tindakan harus berlangsung bebas. Doktrin moral yang di tekankan dalam kelompok ini adalah penanaman kesabaran, ketabahan, kelembutan hati, kehalusan, pekerti dan kasih sayang antar sesama. Bersamaan dengan upaya penanaman sifat-sifat terpuji tersebut, Ikhwan As-Shafa berupaya untuk menjauhkan manusia, manusia dari penggunaan tutur bahasa yang kasar, kemunafikan, kedzaliman, penipuan, dan kepalsuan yang mengotori persaudaraan.
Ikhwan As-Shafa pun mengakui bahwa pengetahuan akan Tuhan, dalam disiplin moral, mengandaikan ketidak mungkinan manusia untuk mengetahui keseluruhan tentangnya. Imbas dari pengetahuan ini, Ikhwan As-Shafa menerima dengan ikhlas. Fungsi kenabian dalam kehidupan manusia dengan kata lain, Ikhwan As-Shafa menyeru manusia untuk tunduk pada risalah kenabian, mengikuti ajaran-ajaran nabi, karena nabi adalah “lisan” tuhan dalam kehidupan.

C.    Karya-Karya Ikhwan as Shafa
Para anggota Ikhwan al-Shafa mampu menguasai ilmu-ilmu yang berkembang saat itu. Mereka juga saling bertukar pendapat soal wawasan agama, sejarah peradaban dan syariat. Hasil pemikiran Ikhwan al-Shafa tertuangkan dalam makalah dan risalah yang hingga kini bisa diakses.
Kelompok ini meninggalkan banyak karya. Di antara karya yang terkenal adalah Risalah Ikhwan al-Shafa yang mencakup 51 makalah. Ini adalah karya Ikhawan as Shafa yang terpopuler. Lima puluh makalah dari risalah itu mencakup berbagai masalah seperti ilmu alam, matematika, ilmu ketuhanan, agama serta berbagai masalah akal dan sosial. Adapun makalah ke-51 membahas bagian-bagian kelompok dan cara berinterkasi antar anggota Ikhwan al-Shafa, serta menjelaskan pendaftaran keanggotaan kelompok ini[10].
Pertemuan-pertemuan yang diselenggrakan Ikhwan al-Shafa sebagai mana yang disebutkan diatas mampu menghasilkan 52 risalah yang mereka namakan Risalah Ikhwan al-Shafa. Rasail ini di klasifikasikan menjadi empat bidang yaitu :
1.      14 risalah matematika meliputi Geometri, Astronomi, musik, geografi, teori dan praktik seni, moral dan logika.
2.      17 risalah fisika dan ilmu alam yang mencakup Geneologi, minerologi, botani, hidup-matinya alam, keterbatasan manusia dan kebangkitan alam.
3.      10 risalah ilmu jiwa yang mengadopsi pemikiran Phytagoreanisme.
4.      11 mengakhiri empat jilid edisi arab terakhir dengan memusatkan perhatian pada apa yang disebut dengan metafisika atau ilmu teologis.[11]
Ikhwan al-Safa’ (1928: II:316) menjelaskan bahwa ahli falsafah yang sebenarnya haruslah mempunyai ciri-ciri berikut, Beragama Islam, berpendidikan dari Iraq (babylonia), pintar seperti orang yahudi, bermetodologikan pengikut nabi Isa, warak seperti rahib Syiria, berilmu seperti Ilmuan Greek, berkebolehan meramal misteri seperti Ilmuan India, dan yang terakhir dan terpenting berjiwa ahli sufi dalam keseluruhan hidup spiritualnya.[12] Dari pembahasan diatas, kita telah dapat membuktikan keluasan dan kedalaman pemikiran filsafat islam. Sebagaimana filsafat lain, filsafat islam mempunyai kedudukan yang amat penting dalam dunia pemikiran filsafat. Bahkan orang barat tidak akan mengenal filsafat tanpa kontribusi islam. Seperti halnya ikhwan as shafa yang menjadikan matematika atau bilangan sebagai carapendang memahami tentang ke Esaan Allah, dan juga usaha kelompok ini untuk memadukan antara beberapa ajaran dan keyakinan dengan filsafat.
D.    Pengaruh Pemikiran Ikhwan As Shafa
Pengaruh pemikiran Ikhwan As Shafa banyak ditemukan pada syi’ah isma’iliyah, karya-karya ikhwan as shafa, terutama Rasa’il dijasikan sebagai pedoman bagi aliran mereka. Kaum ismaili merasa bahwa para filosof terlalu memusatkan perhatian pada unsur-unsur eksternal dan rasionalistik agama dan mengabaikan inti spiritualnya. Meski menentang pemikiran yang bebas Ar Razi, mereka juga mengembangkan filsafat dan sains sendiri, yang tidak dipandang sebagai tujuan akhir tetapi sebagai latihan spiritual untuk memampukan mereka memahami makna batik Al Quran. Berkontemplasi tentang abstraksi sains dan metematika memurnikan pikiran mereka dari tamsil indrawi dan membebaskan mereka dari keterbatasan kesadaran sehari-hari. Kaum ismaili umumnya adalah aktivis politik. Bahkan ja’far al shidiq imam ke enam telah mendefinisikan iman sebagai tindakan. Menurut  mereka, seperti halnya nabi dan para imam, seorang mukmin harus menjadikan visinya tentang Tuhan membawa pengaruh pada kehidupan di dunia.
Cita-cita ini juga dipegang teguh oleh ikhwan as shafa, persaudaraan suci, sebuah kelompok esoterik yang berkembang di Basrah selama abad kejayaan Syiah. Ikwan mungkin merupakan anak cabang Ismailiyah. Sebagaimana kaum ismaili, mereka mengabdikan diri pada pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya matematika dan astrologi dan juga pada aksi politik. Seperti kaum ismaili, ikhwan juga mencari makna batin yang tersembunyi dalam kehidupan. Surat-surat (rasail) mereka yang telah menjadi ensiklopedi ilmu filsafat,sangat terkenal dan tersebar luas hingga ke Spanyol yang jauh di sebelah barat. Ikwan juga memadukan sains dan mistisisme. Matematika dipandang sebagai pengantar filsafat dan psikologi. Sejumlah bilangan mengungkapkan berbagai kualitas yang inheren di dalam jiwa dan merupakan metode konsentrasi yang membuat seorang ahli mampu menyadari sistem kerja pikirannya. Sebagaimana St Agustinus yang memandang pengenalan diri sangat diperlukan bagi pengenalan Tuhan, pemahaman diri yang mendalam juga menjadi inti mistisisme islam. Kaum Sufi, ahli mistik sunni yang dengannya kaum Syi’ah Ismailiyah merasa memiliki kitab erat, memiliki sebuah aksioma: “Siapa yang mengenal dirinya pasti akan mengenal Tuhannya”. Aksioma ini tertulis dalam surat pertama Ikhwan As Shafa. Ketika mereka berkontemplasi tentang bilangan-bilangan jiwa, mereka terbawa kembali kepada Yang Esa, hakikat diri manusia di pusat kedalaman jiwa. Ikwan juga sangat dekat dengan para filosof. Seperti halnya kaum rasionalis muslim, mereka menekankan ketunggalan kebenaran, yang harus dicari dimana saja. Seorang pencari tidak boleh “menolak ilmu apapun, mencela kitab apa pun, bergantung secara fanatik pada suatu keyakinan apa pun”. Mereka mengembangkan konsepsi ketuhanan Neoplatonis, yakni konsep Plotinus tentang Yang Esa yang tak dapat dijangkau oleh pemahaman manusia. Seperti para faylasuf, mereka lebih menyepakati doktrin emanasi Platonis dari pada doktrin tradisional Al Quran tantang penciptaan ex nihilo: dunia mengungkapkan akal ilahi dan manusia dapat berpartisipasi di dalam yang ilahi dan kembali kepada Yang Esa dengan menyucikan kekuatan nalarnya[13].
Dalam Stanford Encylopedia of Philosaopy, Carmela Baffioni mengetakan bahwa pengaruh Rasa’il terhadap literatur-literatur Isma’iliyyah di generasi sesudahnya di akui secara luas oleh para peneliti. Isi Rosa’il telah ditransmisikan dan dikembangkan oleh para pemikir setelahnya. Isma’ilisme jelas memiliki pengaruh besar dalam pemikiran peradaban islam. Mereka pernah berhasil mendirikan kekuasaan di Mesir, Maroko dan Syam lewat dinasti Fathimiyyah (909-1171 M).
Disisi lain, pengaruh besar tersebut mendapat respon keras dari musuh-musuhnya. Hal ini berpuncak ketika Kholifah Al Mustanjid memerintahkan untuk membakar rosa’il (beserta karya Ibnu Sina) pada tahun 555H/160 M. Kejadian ini patut disesalkan, karena kalaupun kita mencoba ada di pihak al Mustanjid, kebijakan seperti itu sebenarnya tidak akan menyelesaikan persoalan. Tapi tentunya sikap zalim penguasa seperti itu jelas tidak bisa didukung oleh orang benar-benar yang ingin menegakan keadilan. Tidak sepakat dengan suatu ide tidak bisa dijadikan dasar untuk bersikap zalim terhadap para pendukung ide tersebut atau rekamannya yang tertoreh di dalam buku. Namun terlepas dari apapun yang telah diperbuat musuh-musuh Ikwan As Shafa, kenyataan menunjukan bahwa rasail tetap hidup hingga sekarang.
Al Qafthi penulis “Sejarah Para Filosof” berkenaan dengan “Ikhwan As Shafa” menulis:
“... dalam rangka menjaga kesucian, ketaqwaan dan kebenaran, mereka (Ismailiyyah) membentuk sebuah perhimpunan di antara mereka sendiri menerima pelatihan-pelatihan dan pendidikan dengan berharap Tuhan juga menerima”.
Menurut keyakinan mereka, sistem agama karena pengaruh kebodohan dan kesalahan telah mengalami kerusakan dan kehancuran dan tidak ada perantara lain untuk mensucikan dirinya bersatu ma’rifat keimanan dan pusaka terealisasikannya rasionalitas. Mareka meyakini bahwa jika filsafat Yunani dan agama Arab (Islam) digabungkan, maka akan diperoleh sebuah kesimpulan yang memuaskan dan sempurna. Berdasarkan keyakinan inilah, mereka menghimpun 50 risalahpada setiap cabang-cabang filsafat, baik itu yang nazari (teoritis) maupun yang ‘amali (praktis) dan mereka menambahkan daftar isi yang berbeda untuk masing-masingnya, maka dikenalakan kumpulan risalah-risalah itu dengan sebutan “Rasail Ikhwan As Shafa
Para penulis kitab-kitab selalu menyembunyikan nama-nama mereka, akan tetapi mereka membagikan risalah-risalah mereka kepada para pedangan buku dan masyarakat. Lembaran-lemabaran risalah ikhwan as shafa dipenuhi kaya-kata pendek, cerita-cerita keagamaan, interpretasi-interpretasi kiasan dann puitis dan kinayah serta ibarat-ibarat yang bernilai sastra.
Para penganut ismailiyyah, sebagaimana yang dikemukakan Ivanef (seorang pakar ismailiyyah), bahkan sampai hari ini pun masih  bersandar pada Rasail Ikhwan As Shafa. Bahkan  lebih jauh, mereka mengatakan bahwa Rasail adalah “Quran ke dua” atau “Quran ilmu” di hadapan “Quran Wahyu”. Risalah-risalah itu dinakmakan “rasail ikwan As shafa, Quran lain setelah kitab Al Quran. Dengan artian lain, risalah-risalah ini adalah Quran ilmu sebagaimana kitab Al Quran adalah wahyu. Rasail adalah “Quran Imamiah” dan kitab suci Al Quran adalah “Quran Nubuwah”.


BAB III
PENUTUP
A.    Simpulan
Ikhwan as Shafa di gunakan untuk menunjukan kepada sekelompok pemikir filsafat dari kalangan umat Islam bernama Syi’ah Isma’iliyah pada abad ke 4 H/10 M. Mereka adalah sekelompok ilmuwan muslim yang membentuk organisasi terselubung di Basrah. Di antara pembesar Ikhwan Al-Shafa adalah Zaid bin Rafaah selaku ketua, Ibn Al Rawandi dan Abu Hayyanal-Tauhidi. Selain itu masih ada tokoh terkemuka lainnya adalah Ahmad ibnu Abd Allah, Abu Sulaiman Muhammad Ibnu Nashr al-Busti yang terkenal dengan sebutan al-Muqaddasi, dan Abu al-Hasan Ali ibnu Harun al-Zanjany
Dalam keaggotaannya Ikhwan al-Shafa mempunyai empat bagian atau tingkatan, diantaranya : Tingkat I,  adalah Ikhwan Al Abrar Al Ruhama, Tingkat ke II, adalah Al Ikhwan al-Akhyar, Tingkat III, adalah Al-Ikwan al-Fudhala al-Kiram
Tingkat IV, adalah Al Kamal
Diantara Pemikiran Filsafatnya  yaitu ; Tawfiq dan at Talqif , Metafisika, Emanasi (al-Fadl), Matematika, Jiwa, Moral
Karya-Karya Ikhwan as Shafa, diantaranya ;
a.       14 risalah matematika meliputi Geometri, Astronomi, musik, geografi, teori dan praktik seni, moral dan logika.
b.      17 risalah fisika dan ilmu alam yang mencakup Geneologi, minerologi, botani, hidup-matinya alam, keterbatasan manusia dan kebangkitan alam.
c.       10 risalah ilmu jiwa yang mengadopsi pemikiran Phytagoreanisme.
d.      11 risalah soal ilmu-ilmu Ketuhanan yang membicarakan persoalan kepercayaan dan keyakinan, hubungan alam dan tuhan,  ihwal kenabian, tindakan ruhani, kekuasaan tuhan, magic dan jimat.

B.     Saran
Alhamdulilah kami pemakalah kelompok empat sudah menyelesaikan makalah yang berjudul Ikhwan as Shafa, semoga dengan penulisan makalah ini bisa menjadi bahan pertimbangan dan rujukan dimasa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Aziz Dahlan, 2003, Pemikiran Falsafi dalam Islam, Jakarta: Djambatan
Abuddin Nata, 1997 Filsafat Pendidikan Islam 1, Jakarta: Logos Wacana Ilmu
Dedi supriyadi, 2009, Filsafat Islam (Konsep, Filsuf, dan Ajarannya), Bandung:
Pustaka Setia.
Karen Armstrong, Sejarah Tuhan: Kisah Pencarian Tuhan yang dilakukan Oleh Orang-Orang Yahudi, Kristen, dan Islam selama 4.000 Tahun, Bandung; Mizan 2022
Ferry, ikhwanus shafa Wed 23 Jul 2008 12:35:57 +0700,  http//
Hasan Basri dan Zainal Mufti. Filsafat Islam. Bandung : CV. Insan Mandiri
Hasyimsyah Nasution, 1999,  Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama
Kebudayaan dan Peradaban Islam; Ikhwan al-Shafa dan Filsafat Islam
Mohd. Nasir Omar, Gagasan Islamisasi Ilmu. http://books.google.co.id. page 15, diakses tanggal 01 Oktober 2013 jam 13:21.


     [1]Abuddin Nata, 1997 Filsafat Pendidikan Islam 1, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu), hal. 181.
     [2]Hasan Basri dan Zainal Mufti. Filsafat Islam. (Bandung : Insan Mandiri), hlm 99
     [3]Abdul Aziz Dahlan, 2003, Pemikiran Falsafi dalam Islam,( Jakarta: Djambatan), hlm. 84
     [4]Hasyimsyah Nasution, 1999,  Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama). hlm 45

     [5]Ferry, ikhwanus shafa Wed 23 Jul 2008 12:35:57 +0700,  http//

     [6]Hasyimsyah Nasution. Op.,Cit. hlm. 45
     [7]Omar A. Farrukh dalam M.M. Syarif (editor), Aliran-Aliran Filsafat Islam, hlm. 185
     [8]Abuddin Nata. Op., Cit, hlm. 182

     [9]Dedi Supriyadi, 2009, Filsafat Islam (Konsep, Filsuf, dan Ajarannya), (Bandung: Pustaka Setia), hlm 84

     [10]Kebudayaan dan Peradaban Islam; Ikhwan al-Shafa dan Filsafat Islam, Kamis, 2013 Agustus 22 13:10.

      [11]Dedi supriyadi, 2009, Filsafat Islam (Konsep, Filsuf, dan Ajarannya), (Bandung: Pustaka Setia), Cet.I, hlm.101
      [12]Mohd. Nasir Omar, Gagasan Islamisasi Ilmu. http://books.google.co.id. page 15, diakses tanggal 01 Oktober 2013 jam 13:21.
     [13]Karen Amstrong, Sejarah Tuhan: Kisah Pencarian Tuhan yang Dilakukan oleh Orang-Orang Yahudi, Kristen dan Islam Selama 4.000 Tahun, Bandung: Mizan, 2002 hal 246.

  1. filosof muslim akhwan as shafah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar