Senin, 07 April 2014

filosofis al ghazali

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bagi negara timur tengah maupun barat hampir semua mengenal Al Ghazali. Ketenaran Al Ghazali bukan tanpa alasan. Kehadirannya banyak memberikan khazanah bagi kehidupan manusia. Sosok figur Al Ghazali sebagai pengembara ilmu yang sarat akan pengalaman mengantarakan posisinya menjadi personifikasi di segala bidang dan setiap zaman. Kegigihannya dalam menelusuri kebenaran ilmu yang bermodalkan otak brilian cemerlang, menjadi ciri keulamaan dan kecendikiawanan. Al Ghazali dikenal sebagai ilmuwan yang konsekuen. Kedalaman dan keluasan ilmunya tidak membuatnya sombong apalagi gegabah dalam tindakan dan pikiran dalam menjalani persoalan kehidupan. Pendidikan adalah hal yang terpenting dalam kehidupan ini, karena tanpa pendidikan seseorang tidak akan mampu mengetahui dunia luar. Namun akhir-akhir ini pendidikan kurang diperhatikan tujuan dari pendidikan tersebut. Pendidikan belakangan ini kurang mengarah kepada pembentukan insan kamil, padahal tujuan dari pendidikan tersebut tidak lain adalah untuk membentuk insan kamil atau sempurna. Sehingga pendidikan saat ini bukanlah membentuk manusia utuh atau sempurna yang layak untuk menjadi khalifah dibumi melainkan manusia yang individualis, materialis dan pragmatis. Hal ini sangatlah berakibat fatal karena yang kuat menindas yang lemah, yang berwenang tetaplah berwenang dan yang kuat menindas yang lemah, tanpa ingat dosa. Maka dari sinilah kami akan mengangkat sebuah tema yang menyajikan tentang arti dan pentingnya pendidikan bagi kita, yang kami ambil dari pemikiran filusuf muslim yang terkenal yaitu “Al-Ghazali”. B. Rumusan Masalah Adapun rumusan maslah yang diangkat dalam makalah ini yaitu: 1. Bagaimana biografi Al-Ghazali? 2. Apa saja karya-karya yang telah dihasilkan oleh Al-Ghazali? 3. Bagaimana pemikiran filsafat Al-Ghazali? 4. Bagaimana pengaruh filsafat Al-Ghazali terhadap filsafat perkembngan peradaban Isam? C. Tujuan Adapun tujuan dalam pembuatan makalah ini: 1. Untuk mengetahui biografi Al-Ghazali 2. Untuk mengetahui karya-karya yang telah dihasilkan oleh Al-Ghazali 3. Untuk mengetahui pemikiran filsafat Al-Ghazali 4. Untuk mengetahui pengaruh filsafat Al-Ghazali terhadap filsafat perkembangan peradaban Islam BAB II PEMBAHASAN A. Biografi Al-Ghazali Al-Ghazali mempunyai nama lengkap Abu Hamid bin Muhammad bin Ahmad Al-Ghazali (yang lbih dikenal dengan sebutan Al-Ghazali). Ia lahir di kota kecil yang terletak di dekat Thus, Provisi Khurasan, Republik islam Irak pada tahun 450 H (1058 M). Ada juga yang mengatakan bahwa beliau lahir pada tahun 1050, 1056, dan 1059 M. Ayah Al-Ghazali gemar mempelajarin ilmu tasawuf, karena ia hanya mau makan dari usaha tangannya sendiri dari menenun wol. Ia juga terkenal pencinta ilmu dan selalu berdoa agar anaknya kelak menjadi seorang ulama. Amat disayangkan, ajalnya tak memberi kesempatan kepadanya untuk menyaksikan keberhasilan Al-Ghazali sesuai doanya. Sebelum meninggal, ia sempat menitipkan Al-Ghazali kepada sodaranya yang bernama Ahmad, seorang sufi, dengan tujuan agar dididik dan dibimbing dengan baik. Sejak kecil, Al-Ghazali dikenal sebagai anak yang senang menuntut ilmu pengetahuan. Karenanya, tidak heran sejak maa kanak-kanak ia telah belajar dengan sejumlah guru dikota kelahirannya. Diantara guru-gurunya pada waktu itu adalah Ahmad Ibnu Muhammad Ar-Razikani. Kemudian, pada masa mudanya ia belajar di Nisyapur dan Khurasan, yang pada waktu itu merupakan salah satu pusat ilmu pengetahuan yang penting di dunia Islam. Al-Ghazali kemudian menjadi murid Imam Al-Haramain Al-Juwaini yang merupakan guru besar di Madrasah Al-Nizamiyyah Nisyapur. Al-Ghazali belajar mengenai teologi, hukum islam, filsafat, logika, supisme, dan ilmu-ilmu alam. Al-Juwaini memprakasai muridnya yang brilian ini kedalam study kalam, filsafat dan logika. Perkenalan Al-Ghazali dengan teori dan praktik mistisme merupakan berkat jasa Al-farmazi (wafat 1084 M, seorang sufi terkemuka saat itu). Karena kecerdasan dan kemauan Al-Ghazali yang luar biasa, Al-Juwaini memberikannya gelar bahrum mugriq (laut yang menenggelamkan). Al-Ghazali kemudian meningkatkan Naisabur setelah Imam Al-Juwaini meninggal dunia pada tahun 478 H (1085). Kemudian, ia berkunjung kepada Nizam Al-malik di kota Mu’askar. Ia mendapat penghormatan dan penghargaan yang besar sehingga ia tinggal di kota itu selama enam tahun. Pada tahun 1090 M, ia diangkat menjadi guru disekolah Nizamiyyah Baghdad. Pekerjaan itu dilaksanakannya dengan sangat serius. Selama di Baghdad, selain mengajar, ia juga memberikan bantahan-bantahan terhadap pikiran-pikiran golongan batiniah, islailiyah, golongan filsafat, dan lain-lain. Setelah mengajar di berbagai tempat, seperti di Baghdad, Syam, dan Naisaburi, akhirnya ia kembali ke kota kelahirannya di Thus pada tahun 1105 M. Empat tahun lamanya al-Ghazali memangku jabatan tersebut, bergelimang dengan ilmu pengetahuan dan kemewahan duniawi. Di masa iniah dia memulai buku-buku ilmiah dan filsafat. Tetapi, keadaan yang demikian tidaklah selamanya meneteramkan hatinya. Di dalam hatinya mulai timbul keraguan, pertanyaan-pertanyaan batinnya sering muncul, inilah ilmu pengetahuan yang sebenarnya? Inilah kehidupan yang dikasihi allah? Inikah cara hidup yang diridhai tuhan? Dengan mereguk madu dunia sampai ke dasar gelasnya. Bercamam-macam pertanyaan timbul dari sanubarinya. Keraguan terhadap daya serap indra dan olahan akal betul-betul menyelimutin dirinya. Akhirnya ia menyingkir dari kursi kebesaran ilmiahnya di Baghdad menuju Mekkah, kemudian ke Damaskus dan tinggal di sana sambil mengisolir diri untuk beribadah dan kontemplatif. Kesunyian khalawat di Damaskus mulailah tampak terang yakin jalan sufi. Al-Ghazali tidak lagi mengandalkan akal semata-mata, karena di samping kekuatan akal ada lagi nur yang dilimpahkan Tuhan kepada para hamba-Nya yang bersungguh-sungguh menuntut kebenaran. Dari damaskus, ia kembali ke Bghdad, lalu kembali ke kampunya, Thus. Di kota ini, ia menghabiskan hari-harinya dengan mengajar dna beribadah sampai akhir hayatnya, pada tanggal 14 Jumadilakhir 505 H (1111 M) dalam usia 55 tahun dengan meninggalkan beberapa anak perempuan. Dan ada juga yang mengatakan bahwa beliau meninggal pada usia 54 tahun. B. Karya-Karya Al-Ghazali Setelah mempelajari beberapa filsafat, baik filsafat Yunani maupun filsafat Islam, Al-Ghazali menemukan argumen-argumen mereka yang tidak kuat, bahkan banyak yang bertentangan denga ajaran Islam. Oleh sebab itu, Al-Ghazali menyerang argumen para filsuf Yunani dan Iislam dalam bebrrapa persolan, di antaranya Al-Ghazali menyerang dalil Aristoteles tentang azalinya alam. Ia menentang pendapat para filsuf yang mengatakan bahwa Tuhan tidak mengetahui perincian pada alam dan hanya mengetahui soal-soal yang besar saja. Selain itu, ia menentang argumen para filsuf yang mengatakan kepastian hukum sebab akibat semata-mata, mustahil adanya penyelewengan dari hukum itu. Al-Ghazali diberi gelar kehormatan sebagai Hujjat Al-Islam atas pembelaannya yang mengagumkan terhadap agama Islam, terutama terhadap kaum batiniyat dan kaum filsuf. Al-Ghazali merupakan sosok luar biasa, ia seorang ulama, pendidik, ahli pikir dalam ilmunya, dan pengarang yang produktif. Karenya, pernyataan yang dikemukakan sarjana-sarjana Eropa (juga sebagai orang Islam) bahwa ia adalah muslim terbesar sesudah Muhammad Saw., memperkuat kebesaran nama yang disandangkan. Pemaparan dan gaya bahasanya yang sangat menarik menjadikan dalil yang disajikan menjadi sangat kuat sehingga setiap ilmu yang ditulis dapat dijadikan hujah. Karya tulisnya meliputi berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Di bawah ini merupakan beberapa warisan dari Al-Ghazali yang paling besar pengaruhnya terhadap pemikiran umat Islam. 1. Maqasid Al-Falasifah (tujuan-tujuan para filsuf) merupakan karangan pertama dan berisi masalah-masalah filsafat. 2. Tahafut Al-Falasifah (kekacauan pikiran para filsuf), buku ini dikarang pada saat jiwanya dilanda keragu-raguan di Baghdad. Al-Ghazali mengencam filsafat dan para filsuf dengan keras. 3. Mi’yar Al-‘Ilm (ilmu-ilmu). 4. Ihya ‘Ulum Ad-Din menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama), buku ini merupakan karyanya yang terbesar selama beberapa tahun dalam keadaan berpidah-pindah antara Damaskus, Yerussalem, Hijaz, dan Thus yang berisi panduan antara fikih, tasawuf, dan filsafat. 5. Al-Munqiz min Ad-Dalal (penyelamat dari kesesatan), buku ini merupakan sejarah perkembangan alam pikiran Al-Ghazali dan merefleksikan sikapnya terhadap beberapa macam ilmu serta jalan mencapai Tuhan. 6. Al-Ma’arif Al-‘Aqliyah (pengetahuan yang rasional). 7. Misykat Al-Anwar (lampu yang bersinar banyak), buku ini berisi pembahasan tentang akhlak tawasuf. 8. Minhaj Al-‘Abidin (jalan mengabdikan diri kepada Tuhan). 9. Al-Iqtisad fi Al-I’tiqad (moderasi dalam akidah). 10. Ayyuha Al-Walad (wahai anak). 11. Al-Mustafa (yang terpilih). 12. Iljam Al-‘Awwam an ‘Ilm Al-Kalam. 13. Mizan Al-‘Amal (timbangan amal). Walaupun umurnya pendek, tetapi kontribusi Al-Ghazali pada ilmu pengetahuan cukup besar. Meskipun ia telah meninggl dunia, namun hasil karyanya tetap hidup ditengah-tengah dunia ilmiah. Karya tulisnya meliputi berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Buah tangannya ini tidak sedikit dialih bahasakan orang ke dalam terhadap pemikiran umat Islam. C. Filsafat Al-Ghazali Al-Ghazali merupakan sosok pemikir dan ulama yang memiliki kontrubusi besar di panggung peradaban Islam. Namun, tidak sedikit pula orang-orang dengan berbagai karyanya yang mendiskreditkan tokoh besar ini. Akibatnya, Al-Ghazali ditempatkan sebagai sosok yang kontrovesial dengan para filsuf, bahkan Al-Ghazali dituding sebagai orang yang mengharamkan filsafat. Berdasarkan hal itu, tidak sedikit orang menanamkan kebencian terhadap Al-Ghazali dan pemikir-pemikirannya. Dalam menyikapi fenomena tersebut, tentunya perlu ada upaya penjernihan dan kajian yang mendalam tentang filsafat dalam pandangan Al-Ghazali yang sesungguhnya, sehingga kajiannya tidak membingungkan para pembaca dalam memahami sosok Al-Ghazali ini. Filsafat pada dasarnya adalah proses pencarian kebenaran. Adapun kebenaran yang dicari Al-Ghazali adalah suatu kebenaran sejati, yaitu kebenaran yang diyakini betul-betul merupakan kebenaran. Corak pemikiran Al-Ghazali pada mulanya adalah sama dengan para filsuf yang lainnya, ia memandang pengetahuan itu adalah hal-hal yang bisa ditangkap oleh pancaindra, namun dia berpendapat pula bahwa pancaindra juga memiliki kekurangan. Karena ketidakpercayaan pada pancaindra, beliau meletakkan kepercayaan pada akal, tetapi akal juga tidak bisa dipercaya. Alasan yang paling membuat dia tidak percaya pada produk akal adalah dia melihat bahwa aliran-aliran yang menggunakan akal sebagai sumber pengetahuan, ternyata menghasilkan pemandangan yang bertentangan, yang sulit diselesaikan oleh akal. Al-Ghazali adalah tokoh yang fenomenal sekaligus memiliki keunikan tersendiri dibandingkan dengan filsuf lain. Hal ini dibuktikan Al-Ghazali sebagai sosok yang mendalami filsafat sekaligus mengkritiknya. Buku Maqasid Al-Falasifah berisi tiga persoalan filsafat, yaitu logika, ketuhanan, dan fisika yang diuraikannya dengan sejujurnya, seolah dia seorang filsuf yang menulis tentang kefilsafatan. Tahafut Al-Falasifah, di mana ia bertindak bukan sebagai filsuf, melainkan seorang tokoh Islam yang hendak mengkritika filsafat dan menunjukkan kelemahan-kelemahan serta kejanggalan-kejanggalannya, yaitu dalam hal berlawanan dengan agama. Setalah melakukan pengembaraan intelektual berupa analisis dan koreksi terhadap sejumlah filsuf-filsuf besar, akhirnya Al-Ghazali mengklasifikasikan para filsuf menjadi tiga golongan. 1. Filsuf Materialis (Dahriyyun) Mereka adalah para filsuf yang menyangkal adanya Tuhan. Sementara itu, kosmos ini ada dengan sendirinya, seperti Empedokles (490-430 SM) dan Demokritus (460-360 SM). 2. Filsuf Naturalis (Tabi’iyyun) Mereka adalah para filsuf yang melaksanakan berbagai penelitian di alam ini. Melalui penyelidikan-penyelidikan tersebut, mereka cukup banyak menyaksiakan keajaiban-keajaiban yang memaksa mereka untuk mengakui adanya Maha Pencipta di alam ini. Walaupun begitu, mereka tetap mengingkari Allah, Rasul-Nya, dan hari berbangkit. Mereka tidak mengenal pahala dan dosa sebab mereka hanya memuaskan nafsu seperti hewan. 3. Filsuf Ketuhanan (Ilahiyun) Mereka adalah filsuf Yunani seperti Sokrates, Plato, dan Aristoteles. Aristoteles telah menyanggah pemikiran filsuf sebelumnya, yaitu materialis dan naturalis, namun ia sendiri tidak membebaskan diri dari sisa-sisa kekafiran dan keheredoksian. Oleh karena itu, ia sendiri termasuk orang kafir dan begitu juga Al-Farabi dan Ibnu Sina yang menyebarluaskan pemikiran ini di dunia Islam. Al-Ghazali tidak menyerang semua cabang filsafat, hanya filsafat ketuhanan (metafisika). Al-Ghazali menyerang kaum filsuf dalam kitab Tahafut Al-Falasifah katena mereke berlebihan menggunakan akal dan menetapkan sesuatu tanpa bukti atas nama akal. Sebagai bukti bahwa Al-Ghazali tidak menyerang seluruh cabang filsafat, Al-Ghazali menyimpulkan bahwa filsafat Aristoteles yang disalin dan disebarluaskan oleh Al-Farabi dan Ibnu Sina terbagi menjadi tiga kelompok: (a) filsafat yang tidak perlu disangkal, dengan arti dapat diterima, (b) filsafat yang harus dipandang bidah (heteredoksi), (c) filsafat yang harus dipandang kafir. Ilmu filsafat menurut Al-Ghazali terbagi menjadi enam bagian: ilmu matematika, logika, fisika, politik, etika, dan metafisika (ketuhanan). Dibawah ini adalah penjelasan singkat tentang kajian khusus metafisika Al-Ghazali sebagai bentuk sanggahan atas metafisika para filsuf. 1) Kadimnya Alam dan Keazaliannya Timbulnya reaksi dan perdebatan antara Al-Ghazali dengan filsuf lain ihwal kadimnya alam, bermula dari kesimpulan para filsuf yang mengatakan bahwa alam itu kadim. Bagi para filsuf muslim, seperti Al-Farabi dan Ibnu Sina, paham bahwa alam itu kadim sedikit pun tidak dipahami mereka sebagai alam yang ada dengan sendirinya. Ala itu kadim karena justru Tuhan menciptakannya sejak azali. Bagi mereka, mustahil Tuhan ada dengan sendirinya tanpa mencipta pada awalnya, kemudian menciptakan alam. Gambaran bahwa pada awalnya Tuhan tidak menciptakan, kemudian baru menciptakan alam, menurut mereka menunjukkan berubahnya Tuhan. Tuhan menurut mereka mustahil berubah, dan oleh sebab itu, mustahil juga Tuhan berubah dari awalnya tidak atau belum mencipta, kemudian mencipta. Argumen-argumen yang dilontarkan Al-Ghazali tentang kadimnya Allah sekaligus sebagai pencipta alam, sesuai dengan ayat-ayat Al-Qur’an, di antaranya:            Artinya: “Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu”. (Q.S. Az-Zumar: 62).                      Artinya: “Dialah Allah yang Menciptakan, yang Mengadakan, yang membentuk Rupa, yang mempunyai asmaaul Husna. bertasbih kepadanya apa yang di langit dan bumi. dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (Q.S. Al-Hasyr: 24). Adanya alam adalah hasil dari iradat Tuhan, karena sifat iradat dalam pandangan Al-Ghazali adalah sifat yang mutlak dan ada pada Tuhan. Dengan kata lain, Tuhan memiliki kehendak dengan kebesaran yang tidak terbatas. Dia bisa berkehedak untuk menciptkan atau tidak menciptakan. Begitupun halnya kebebasan kehendak Tuhan itu tercermin dari segi waktu penciptaan. Artinya Tuhan bisa memilih aktu tertentu untuk menciptakan sesuatu, tanpa harus mempertanyakan sebab Tuhan memilih waktu itu, karen sebabnya itu merupakan iradat-Nya pula. 2) Tuhan tidak Mengetahui yang Juzi’yyat Sanggahan Al-Ghazali yang kedua ini bermula dari pandangan para filsuf muslim yang berpendapat bahwa Allah hanya mengetahui zat-Nya, tidak mengetahui yang selain-Nya (juz’iyyat). Ibnu Sina mengatakan bahwa Allah mengetahui segala sesuatu dengan ilmu-Nya yang kully. Alasan para filsuf muslim, bahwa Allah tidak mengetahui yang juz’iyyat, karena di alam ini selalu terjadi perubahan-perubahan. Jika Allah mengetahui rincian perubahan tersebut, hal itu akan membawa perubahan pada zat-Nya. Perubahan pada objek ilmu akan membawa perubahan pada yang punya ilmu (bertambah dan berkurang). Ini mustahil bagi Allah.                                    Artinya: “dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)" (Q.S. Al-An’am: 59). 3) Pembangkitan Jasmani Menurut Al-Ghazali, pemikiran bahwa pembangkitan jasmani di hari kiamat itu tak ada, itu pun membawa pada kekufuran karena teks ayat-ayat dalam Al-Qur’an menggambarkan adanya pembangkitan jasmani. Firman Allah Swt:                  •        Artinya: “dan ia membuat perumpamaan bagi kami; dan Dia lupa kepada kejadiannya; ia berkata: "Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang, yang telah hancur luluh?" Katakanlah: "Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali yang pertama. dan Dia Maha mengetahui tentang segala makhluk. (Q.S. Yasin: 78-79). Pengkafiran disini berdasarkan atas berlawannya pemikiran tentang tidak adanya pembangkitan jasmani dengan teks Al-Quran sebagai wahyu dari Tuhan. Dengan demikian, dalam pandangan Al-Gazali bahwa kehidupan akhirat itu, yang akan dibangkitkan bukan hanya mengacu pada kehidupan rohani saja, tetapi kehidupan rohani dan jasmani sekaligus. Rohani dan jasmani akan mendapatkan balasan yang setimpal sesuai dengan amal dan perbuatan manusia ketika di bumi. Rohani dan jasmani akan merasakan nikmatnya surga atau azabnya neraka. Dalam hal pembangkitan jasmani, Ibn Rusyd menulis dalam Tahafut At-Tahafut bahwa filsuf-filsuf Islam tak menyebutkan hal seperti itu. Dalam hal ini, ia melihat adanya pertentangan dalam ucapan-ucapan Al-Ghazali. Di dalam Tahafut Al-Falasifah, Al-Ghazali menulis, bahwa dalam Islam tidak mengenal konsep bahwa yang akan dibangkitkan itu rohani saja. Namun, dalam buku lain ia mengatakan, menurut kaum sufi, yang ada nanti ialah pembangkitan rohani dan tidak ada pembangkitan jasmani. Ketidakkonsistenan Al-Ghazali menggambarkan perkembangan pemikirannya, sebagaimana perkembangan pengembaraan intelektual belaui semasa hidupnya yang berawal dari pengembaraan filsafat, kemudian ke tasawuf. Dengan demikian, Al-Ghazali juga tak mempunyai argumen kuat untuk mengkafirkan kaum filsuf dalam pemikiran tentang tidak adanya pembangkitan jasmani. Pemikiran itu bukanlah pendapat filsuf, dan kelihatannya adalah kesimpulan yang ditarik Al-Ghazali dari filsafat mereka. Pengkafiran Al-Ghazali terhadap tiga permasalahan tersebut membuat orang di dunia Islam bagian Timur dan Baghdad, sebagai pusat pemikiran, menjauhi filsafat. Apalagi di samping pengkafiran itu, Al-Ghazali mengeluarkan pendapat bahwa jalan sebenarnya untuk mencapai hakikat bukanlah filsafat, tetapi tasawuf. Bahkan, Al-Ghazali menurut Ibnu Rusyd telah melakukan dua kesalahan. Pertama, Al-Ghazali telah membingungkan umat. Filsafat adalah konsumsi orang-orang tertentu yang memang mengerti dalam bidang filsafat, tapi oleh Al-Ghazali ilmu ini disebarkan ke masyarakat awam. Oleh sebab itu, orang-orang yang tidak mengerti filsafat menjadi kebingungan. Pemikiran-pemikiran Al-Ghazali telah meracuni masyarakat sehingga masyarakat menjadi bingung dan menjauhi dunia filsafat. Akhirnya, Ibnu Rusyd menuding balik bahwa kemunduran (pemikiran) Islam dalah satunya disebabkan fatwa-fatwa Al-Ghazali yang berhasil mengkerangkeng filsafat. Kedua, filsafat yang digunakan Al-Ghazali hanya menggunakan metode dialektika, tanpa metode burhani. Oleh karena itu, apa yang disampaikan Al-Ghazali pun mengalami kerancuan dalam pemikiran para filsuf. Inilah yang menyebabkan terjadinya pergolakan pemikiran di antara filsuf muslim. 1. Filsafat Ketuhanan Ihwal metafisika, Al-Ghazali memberikan reaksi terhadap neoplatonisme Islam. Menurutnya, banyak kesalahan para filsuf karena mereka tidak teliti dalam lapangan logika dan matematika. Untuk itu, Al-Ghazali mengecam secara langsung dua tokoh neoplatonisme muslim (Al-Farabi dan Ibnu Sina), dan secara tidak langsung terhadap Aristoteles, guru mereka. Menurut Al-Ghazali dalam bukunya Tahafut Al-Falasifah, para pemikir bebas tersebut ingin meninggalkan keyakinan-keyakinan Islam dan mengabaikan dasar-dasar pemujaan ritual, dengan menganggapnya sebagai sesuatu yang tidak berguna bagi pencapaian intelektual mereka. Konsep ketuhanan dalam pandangan Al-Ghazali terdiri atas tiga masalah pokok. Berikut ini merupakan uraiannya. a. Masalah Wujud Dalam menetapkan wujud Tuhan ini, Al-Ghazali mengikuti tradisi ulama kalam Al-Asy’ari, beliau menggunakan dalil wujud Tuhan itu atas dua bentuk, yaitu dalil naqli dalil aqli. Penggunaan dalil naqli, yakni melalui perenungan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an sambil memperhatikan alam semesta sebagai ciotaan Tuhan, di mana dengan perenungan ayat dan fenomena alam yang serba teratur, manusia akan sampai mengakui wujud Tuhan. Sementara itu, dalam membuktikan wujud Tuhan melalui dalil aqli, Al-Ghazali mempertentangkan wujud Allah dengan wujud makhluk. Wujud Allah adalah kadim, sedangkan wujud makhluk adalah hadits. Wujud yang hadits (baru) menghendaki sebab gerak yang mendahuluinya sebagai penggerak yang mengadakannya. b. Masalah Zat dan Sifat Dalam emmbahas zat Tuhan, Al-Ghazali membatasi diri dengan mengemukakan hadis Nabi Saw., yang melarang manusia memikirkan zat Allah SWT. Dari beliau menegaskan, bahwa akal manusia tidak akan sampai encapai zzat itu. Cukup bagi manusia hanya mengetahui sifat af’al-nya saja, sedangkan dalam membahas tentang sifat Tuhan, Al-Ghazali cenderung untuk mengikuti para mutakalimin dari mazhab Al-As’ari. Beliau menetapkan adanya sifat zat yang diistilahkan dengan sifat salbiyah dan ma’ani. c. Masalah Af’al Dalam masalah ini, Al-Ghazali berpendapat bahwa perbuatan Allah SWT., tidaklah terbatas dalam menciptakan alam saja, tetapi Allah SWT., juga menciptakan perbuatan manusia dan ikhtiarnya. Perbuatan manusia tidaklah terlepas dari kehendak Allah SWT. Manusia hanya diberi kekuasaan dalam lingkungan kehendak Tuhan. Jadi, perbuatan dan ikhtar manusia dalam terbatas dan tidak akan melampaui garis-garis kadar. Dalam menguraikan tentang af’al ini, Al-Ghazali mengembalikan permasalah kepada firman Allah SWT : •     ........ Sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan menunjuki siapa yang dikehendaki ..... (Q.S. Fatir: 8) 2. Tasawuf Al-Ghazali Karena tidak merasa puas dengan ilmu kalam dan filsafat, ia meninggalkan kedudukannya yang tinggi di Madrasah Nizamiyyah Baghdad pada tahun 1095 M, lalu pergi ke Damaskus untuk bertapa di salah satu menara Masjid Umawi yang ada di sana. Tasawuflah yang dapat menghilangkan rasa syak yang lama mengganggu dirinya. Dari tasawuflah, ia memperoleh keyakinan yang dicari-carinya, itulah yang membuat Al-Ghazali memperoleh keyakinan kembali. Mengenai cahaya ini, Al-Ghazali mengatakan: “Cahaya itu adalah kunci dari kebanyakan pengetahuan dan siapa yang menyangka bahwa kasyf (pembukaan tabir) bergantung pada argumen-argumen, sebenarnya telah mempersempit rahmat Tuhan yang demikian luas.... Cahaya yang dimaksud adalah cahaya yang disinarkan Tuhan ke dalam hati sanubari seseorang.” Dengan demikian, satu-satunya pengetahuan yang menimbulkan keyakinan akan kebenaran bagi Al-Ghazali adalah pengetahuan yang diperoleh secara langsung dari Tuhan dengan tasawuf. 3. Filsafat Etika atau Akhlak Al-Ghazali Filsafat akhlak menurut Al-Ghazali amat erat kaitannya dengan filsafat ketuhanannya, sebab tujuan dari butiran nilai-nilai akhlak yang dikemukakannya tidak lain adalah sebagai sarana untuk mencapai makrifatullah (mengenal Allah SWT). Dalam arti, membuka hijab-hijab yang membatasi diri manusia dengan Tuhannya. Al-Ghazali menakrifkan akhlak itu dengan : “sifat yang ternanam di dalam jiwa di mana timbul perbuatan-perbuatan dan tidak tanduk dengan mudah dan gampang tanpa memerlukan pikiran dan pertimbangan”. Jadi, akhlak adalah milik jiwa yang menjadi sifat seorang manusia, yang dengan sifat itu secara gampang ia dapat berbuat. Dalam mendefinisikan etika atau akhlak, Al-Ghazali memiliki banyak kesamaan dengan Ibnu Miskawaih, yaitu suatu keadaan jiwa yang mantap yang direfleksikan dalam bentuk perbuatan-perbuatan mudah tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan. Filsafat etika Al-Ghazali secara langsung dapat kita lihat pada teori tasawufnya dalam bukunya Ihya’ ‘Ulumuddin. Dengan kata lain, filsafat etika Al-Ghazali merupakan teori tasawufnya. Tujuan pokok dari etika Al-Ghazali terdapat pada semboyan tasawuf yang terkenal: at-takhalluq bi-akhlaqillahi ‘ala taqatil basyariyah, atau pada semboyannya yang lain, as-sifatir-rahman ‘ala taqalil-basyatiyah. Maksud semboyan itu adalah agar manusia sejauh kesanggupannya meniru perangai dan sifat-sifat ketuhanan, seperti pengasih, penyayang, dan pengampun (pemaaf). Di samping itu, sifat-sifat yang disukai Tuhan, seperti sabar, jujur, takwa, zuhud, ikhlas, beragama, dan sebagainya. D. Pengaruh Filsafat Al-Ghazali Pengaruh pemikiran Al-Ghazali terhadap perkembangan peradaban Islam sangat besar karena pemikiran-pemikiran Al-Ghazali sesuai dengan ajran Islam. Banyak kitan karangan Al-Ghazali yang merupakan upayanya untuk membersikan hati umat Islam dari kesesatan sekaligus pembelaan terhadap serangan-serangan pihak luar, baik Islam maupun Barat (orientalis). Karena jasanya dalam mengomentari dan melakukan pembelaan terhadap berbagai serangan, ia diberi gelar hujjatul Islam. Tentu saja gelar tersebut bukan sembarangan gelar dan tidak ada seorang pun sebelumnya yang digelari seperti itu. Gelar tersebut didasarkan pada pemikiran Al-Ghazali yang sangat baik dan berpengaruh. Bagaimanapun, karya-karya Al-Ghazali ini berpengaruh besar bagi para ilmuwan dan filsuf lain, termasuk di dataran Eropa, seperti: 1. Carra De Vaux, yang menerjemahkan buku Tahafut Al-Falasifah 2. De Boer dan Asin Palacois yang masing-masing menerjemahkan bagian dari Thafut Al-Falasifah 3. H. Bauer yang menerjemahkan Qawa’id Al-‘Aqa’id, dalam bukunya Die Dogmatik Al-Ghazali’s 4. Barbier De Minard, yang menerjemahkan Al-Munqizu min Ad-Dalal 5. W.H.T. Craidner London yang menerjemahkan buku Miskat Al-Anwar 6. B. Mic Donal, menerjemahkan beberapa pasal dari Ihya’ ‘Ulum Ad-Din Al-Ghazali, sampai saat ini barang kali tidak berlebihan apabila dikatakan sebagai pemikir besar dalam Islam. Beliau telah memberikan pengaruh besar dan memberikan wajah baru dalam Islam. Penafsiran filsufis yang dilakukan oleh filsuf Islam sebelumnya tidak memberikan pemikiran yang berpusat pada Islam, melainkan mereka banyak tertuju pada masalah-maslah klasik yang terdapat dalam pemikiran Yunani. Demikian pula ulama kalam dalam memerangi filsafat, tidak ada seorang pun yang dapat merobohkan filsafat dari dasarnya dengan metode yang rapi, seperti yang dikerjakan Al-Ghazali dalam bukunya Tahafut Al-Falasifah, ia telah menguji setiap pemikiran filsuf dan menunjukkan kelemahannya. BAB III PENUTUP A. SIMPULAN Imam Al-Ghazali adalah pemikir ulung Islam yang menyandang gelar “pembela Islam” (hujjatul Islam), hiasan agama (Zainuddin), samudra yang menghanyutkan (bahrun mughriq), dan pembaharu agama. Gelar ini didasarkan pada keluasan ilmu dan amalnya serta hidupnya yang penuh dengan perjuangan dan pengorbanan dalam mempertahankan ajaran agama dari berbagai serangan. Dari uraian di atas dapat di simpulkan bahwa pendidikan itu adalah proses memanusiakan manusia yang bertujuan membentuk insan kamil untuk menjadi khalifah di bumi. Dan dengan adanya pendidikan ini diharapkan manusia mampu mencapai tujuan hidupnya di dunia dan akhirat, dan hidup yang berpedoman al-Qur’an dan Hadits. Imam Al-Ghazali memiliki banyak karangan yang dipakai dalam hal pengetahuan pendidikan, dan beliau merupaka salah satu guru besar dalam ilmu pengetahuan. DAFTAR PUSTAKA Sirajuddin Zar. 2007. Filsafat Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Ar-Rasyidin dkk. 2005. Perkembangan Pemikiran Falsafi dalam Islam. Jakarta: Ciputat Press. Ahmad Syadani dkk.. 1997. Filsafat Umum. Bandung: Pustaka Setia. Ar Rasyidin dkk. 2005. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Press. Yunasril Ali. 1991. Perkembangan Pemikiran Filsafat dalam Islam. Jakrta: Bumi Askara. Ahmad Hanafi. 1996. Pengantar Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang. Al-Gazali. 1962. Tahafut Al-Falasafih. Kairo: Dar Al-Ma’ari. Hasyimsah Nasution. 2022. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama. Harun Nasution. 1978. Filsafat dan mistisis medalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang. Mustofa. 2000. Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia. Suseno. 2000. Dua Belas Tokoh Etika Abad ke-20. Yogyakarta: Kanisius.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar