Senin, 07 April 2014

filosof Ath-sThusi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tokoh ini kurang begitu populer dibanding tokoh-tokoh besar dalam sejarah Islam seperti Ibn Sina, al-Ghazali al-Razi, dan lainnya. Sebab itu, kemunculan namanya sebagai tokoh penting dalam khazanah perkembangan peradaban Islam juga menjadi sesuatu yang sulit ditemui, padahal memperbincangkan sejarah Filsafat Islam, kita tak bisa meninggalkan tokoh yang memberikan sumbangan yang begitu besar bagi perkembangan filsafat Islam – khususnya mazhab paripatetik ini. Nashiruddin Ath-sThusi adalah seorang pemikir Islam yang tidak hanya dikenal sebagai seorang filsuf, tetapi juga sebagai ahli astronomi, matematikawan dan saintis/ilmuan yang beberapa pemikirannya masih digunakan sampai saat ini. Dia adalah seorang penulis yang banyak karyanya dalam bidang matematika. Ia juga seorang biolog, ahli kimia, ahli pengobatan, ahli ilmu fisika, teolog dan Marja Taqleed. Thusi termasuk satu di antara sedikit astronom Islam yang mendapat perhatian dari ilmuwan modern. Seyyed Hussein Nasr mengkategorikan Thusi sebagai salah satu di antara tokoh universal sains Islam yang pernah lahir dalam peradaban Islam abad pertengahan. Dari uraian diatas penulis ingin lebih luas mengetahui salah satu filosof muslim modern, yaitu Nasir Al-din Thusi. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana biografi Nasiruddin Ath-Thusi? 2. Apa saja karya-karya yang dihasilkan oleh Nasiruddin Ath-Thusi? 3. Bagaimana filsafat Nasiruddin Ath-Thusi? 4. Bagaimana Pengaruh Filsafat Nasiruddin Ath-Thusi? C. Tujuan Penulisan Dari rumusan masalah di atas tujuan penulisan Untuk mengetahui biografi, karya-karya yang dihasilkan oleh Nasiruddin Ath-Thusi, filsafat Nasiruddin Ath-Thusi, Pengaruh Filsafat Nasiruddin Ath-Thusi. BAB II PEMBAHASAN A. Biografi Nasiruddin Ath-Thusi Abu Ja’far Muhammad ibn Muhammad Al-Hasan Nashiruddin Al-Thusi Al-Muhaqqiq lahir pada tanggal 18 februari 1201 M bertepatan dengan tahun 597 H di Thus, Khurasan. Thusi dikenal sebagai seorang ahli matematika, astronomi, geografi, farmakologi, mineralogi yang juga menguasai kajian filsafat. Ia ikut aktif sebagai seorang politikus syi’ah ternama. Thusi memperoleh pelajaran dasar langsung dari ayahnya Muhammad ibn Hasan, belajar Fiqh, Ushul Fiqh, kalam dan hikmah kepada Mahdar Farid al-Din, mendalami matematika dengan seorang guru bernama Muhammad Hasib di Nishapur sebelum akhirnya berangkat ke Baghdad untuk mempelajari ilmu pengobatan dan Filsafat kepada Qutb al-Din. Di baghdad, Thusi juga kembali memperdalam ilmu Matematika di bawah bimbingan Kamal al-Din Ibn Yunus dan ilmu Fiqh serta Ushul Fiqh di bawah arahan Salim Ibn Badran. Thusi memulai karirnya sebagai astronomi pada Nasir al-Din abd al-Rahim, gubernur dari benteng gunung Isma’iliah Quhistan selama masa pemerintahan Ala al-Din Muhammad (618-652 H/1221-1255 M), syekh Agung (khudawand) ketujuh dari Alamut. Hubungan surat-menyurat-nya dengan Wazir khalifah Abbasiah terakhir, al-Musta’sim (640-656 H/1242-1258 M), dari baghdad, dihentikan oleh atasan-atasannya, dan dia dipindahkan ke Alamut di bawah pengawasan ketat, meski di sana dia menikmati segala kemudahan untuk melanjutkan pelajarannya pada tahun 654 H/ 1256 M, dia menyerahkan penguasa pembunuh terakhir Rukn al-Din khusrhah ketangan hulagu dan kemudian menjadi teman hulagu sebagai penasihat terpercaya sampai ditaklukannya Baghdad pada tahun 657 H/1258 M. Yang membuat Thusi mencapai kemashuran adalah keberhasilannya membujuk hulagu untuk mendirikan observatorium yang terkenal itu (rasad khasanah) di Maraghah Azarbaijan, pada tahun 657 H/ 1259 M. Yang dilengkapi denagan alat-alat yang paling baik, sebagian diantaranya baru diciptakan untuk pertamakalinya. Di sini dia menyusun tabel-tabel astronominya yang disebut Zil Alkhani, yang menjadi terkenal seluruh asia bahkan sampai ke Cina. Di samping bisa digunakan bagi kemaujudan astronomi dan matematika pada akhir abad ke-7 H/ ke- 13 M. Observatorium ini juga penting dalam tiga hal lainnya. Pertama, sebagai observatorium yang paling banyak didukung sehingga membuka pintu bagi komersialisasi observatorium pada masa mendatang. Kedua, Thusi membuat observatorium Maraghah menjadi suatu majelis yang hebat yang terdiri atas orang-orang pandai dan terpelajar dengan jalan membuat “rencana khusus” untuk pengajaran ilmu-ilmu filsafat, di samping matematika dan astronomi, dan juga dengan menyisihkan uang sokongan untuk beasiswa. Ketiga, observatorium itu di hubungkan dengan sebuah perpustakaan besar, tempat disimpannya khazanah pengetahuan yang dirampas oleh bangsa Mongol dan Tartar ketika mereka menaklukkan Baghdad, Irak, Syiria, dan daerahn lain-lainnya. (M.M. Syarif.1985:235-236). B. Karya-Karya Nasiruddin Ath-Thusi Sebagian kalangan menilai Thusi lebih layak untuk dianggap sebagai sarjana yang mahir ketimbang ahli pikir yang kreatif. Kebanyakan karyanya hanya merupakan karya-karya elektis. Karl Brockelmann mengumpulkan tidak kurang dari 56 judul karya Thusi, sementara Ivanov mengatakan bahwa karya Thusi ada 150 judul, sedangkan Mudarris Ridwi menyebutkan sekitar 130 judul. Di antara karya Thusi adalah : 1. Tentang Logika : a. Asas al-Iqtibas b. Mantiq al-Tajrid c. Ta’dil al-Mi’yar d. Syarh Mantiq Al-isyarat 2. Ilmu Metafisika : a. Risalah dar Ithbat’i wajib b. Risalah Darurat’i Marg c. Risalah dar wujud’i jauhari’i d. Risalah dar Itsbat’i ‘Aqli-I fa’al e. Risalah Sudur kathrat az wahdat f. Hall-Musykilat Al-Asyraf g. Itsat’i Al-jauhar Al-Mufariq h. Risalah ‘Ilal wa Ma’lulat Fushul i. Talkis Al-Muhassal j. Tashawwurat k. Mujarrad 3. Ilmu Teologi/dogma : a. Tajrid al-Aqa’id b. Qawa’id al-Aqa’id c. Risaleh-I I’tiqadat 4. Ilmu etika : a. Akhlaq-I Nasiri b. Ausaf al-Asyraf 5. Ilmu Astronomi : a. Al –Mutawasitat Ba’in Al-Handasa wal Hai’a b. Kitab at-tazkira fi al-‘ilmal hai’a c. Zubdat al-hai’a d. At-tahsil fil an-nujum e. Tahzir al-majisti f. Mukhtasar fi al-‘ilm at-tanjim wa ma’rifat at-taqwim (ringkasan astrologi dan penanggalan) g. Al-barri fi ‘ulum at-taqwim wa harakat al-fak wa ahkam an-nujum (buku terunggul tentang almanak, gerak bintang-bintang, dan astrologi kehakiman). 6. Ilmu aritmatika, geometri, dan trigonometri a. Al-Mukhtasar bi jami’ Al-Hisab bi At-takht wa At-Turab (ringkasan dari seluruh perhitungan dengan tabel dan bumi) b. Al-jabr wa Al-Muqabala (risalah tentang aljabar) c. Al-Usul Al-Maudua (risalah tentang Euclidas postulate) d. Qawa’id Al-Handasa (kaidah-kaidah geometri) e. Tahrir Al-Usul f. Kitab Sakl Al-Qatta (risalah tentang trilateral) 7. Ilmu Optik a. Tahrir Kitab Al-Manazir b. Mabahis finikas as-su’ar wa in itafiha (penelitian tentang refleksi dan refleksi sinar-sinar) 8. Ilmu seni (syair) adalah kitab fi ‘ilm Al-Mausiqi dan kanz at-tuhaf meskipun Nasiruddin dalam bidang seni ini tidak sekaliber Omar Khayam ataupun Jalaluddin Rumi. 9. Dalam bidang medis, Nasiruddin juga memiliki kontribusi yang dibuktikan dengan salah satu karyanya, yakni kitab Al-bab bahiyah fi At-tarkib As-Sultaniyyah, buku tentang cara diet, peraturan-peraturan kesehatan, dan hubungan seksual. C. Filsafat Nasiruddin Ath-Thusi Pemikiran Thusi banyak diilhami oleh pikiran-pikairan Aristoteles, Al-Farabi dan juga adat istiadat negara Iran (Syiah) yang begitu kuat pada saat itu. Sebagai pengikut Syiah, ia sangat dekat dengan tradisi pemikiran imamiyah, tentang nubuwah dan keadilan, yang kesemuanya itu sangat memengaruhi pemikiran politiknya. Dalam pemikiran agama, Al-Thusi mengadopsi ajaran-ajaran neoplatonik Ibn Sina dan Suhrawardi, yang keduanya ia sebut, demi alasan-alasan taktis, “orang bijak” (hukuma), bukan sebagai filsuf. Nasaruddin Al-Thusi bermaksud menyatukan filsafat dengan fiqih berdasarkan pada pemikiran bahwa perbuatan baik mungkin saja didasarkan atas fitrah atau adat. Fitrah memberikan manusia prinsip-prinsip baku yang dikenal sebagai pengetahuan batin kebijaksanaan. Sementara itu, adat merujuk pada kebiasaan komunitas atau diajarkan seorang nabi atau imam tentang hukum Tuhan, dan ini merupakan pokok bahasan fiqih. Keduanya dibagi lagi menjadi norma-norma untuk individu, keluarga dan penduduk desa atau kota. Pemikiran Filsafat Nasiruddin Ath-Thusi berangkat dari keyakinan agama yang kemudian terpilah dalam cakupan teoritis dan praktis. Thusi menggolongkan Filsafat praktis dalam tiga kajian; Etika, Ilmu Rumah Tangga dan Politik. Pembagian ini didasarkan pada pandangannya atas ihwal mukhatab al-Qur’an. Menurutnya al-Qur’an diturunkan kepada manusia sebagai seorang individu, lalu kepada manusia sebagai anggota keluarga dan kepada manusia sebagai embrio masyarakat dan sekaligus penghuni sebuah tatanan kemasyarakatan. Dengan kata lain, etika diperuntukan bagi persoalan individual, ilmu rumah tangga yang disusun untuk kepentingan antar-anggota keluarga, dan kemudian politik yang diperuntukan sebagai kajian yang mengatur individu dalam hubungannya dalam masyarakat. Dengan kata lain, etika diperuntukan bagi persoalan individual, ilmu rumah tangga yang disusun untuk kepentingan antar-anggota keluarga, dan kemudian politik yang diperuntukan sebagai kajian yang mengatur individu dalam hubungannya dalam masyarakat. 1. Filsafat Moral Filsafat moral Thusi tercermin dalam salah satu karyanya, yakni Akhlaq-i Nasiri. Karya ini sesungguhnya menunjukkan keaslian dari gagasan-gagasan Thusi, tentang moral (etika) karena tidak ditulis dengan gaya tiruan atau terjemahan, tetapi benar-benar merupakan suatu upaya dari pribadi Thusi. Thusi mengaggap bahwa kebahagiaan utama (sa’adat-i quswa) adalah tujuan moral utama, yang ditentukan oleh tempat dan kedudukan manusia di dalam evolusi kosmik dan diwujudkan melalui kesediaannya untuk berdisiplin dan patuh. Teori moral Thusi didasarkan pada masyarakat sebagai latar belakang normal dari kehidupan moral, sebab manusia pada dasarnya merupakan makhluk sosial, dan kesempurnaannya terletak pada tindak-tanduknya yang menunjukkan sifat sosial kepada sesamanya. Cinta dan persahabatan, karena itu, merupakan prinsip-prinsip yang penting dalam bermoral suatu teori yang dengan jelas tidak mengandung kehidupan ketertapaan. Dalam kajian etika, Thusi mengawali pemikirannya melalui filsafat moral yang digagas oleh Ibnu Maskawaih. Awal pemikiran ini dilatar belakangi oleh perintah Nasir al-Din ‘Abd al-rahman (Gubernur Quhistan). Thusi menerjemahkan kitab Al-Thaharah (tahzib Al-Akhlak) dari bahasa arab kebahasa persia. Menurut Thusi, gagasa ibnu Maskawaih hanya merupakan narasi disiplin Moral personal. Thusi merasa gagasan itu masih belum refresentatif dalam membahas seluruh persoalan yang dihadapi akal praktis. Namun demikian, Thusi menerima pandangan Maskawaih yang menyatakan bahwa kebahagiaan utama merupakan tujuan-tujuan moral. Dari Ibnu Maskawaih, Thusi mengambil ajaran yang menjelaskan klasifikasi kejahatan yang bersumber dari penyimpangan jiwa dan ketidak sediaan jiwa untuk tetap mematuhi keselarasan kosmik. Aristoteles memandang kejahatan sebagai suatu kebaikan yang berlebihan baik eksesnya maupun kerusakannya. Penyakit merupakan penyimpangan jiwa dari keseimbangan (i’tidal). Aristoteles juga Ibnu Maskawaih, memandang penyimpangan ini dari segi jumlah (kammiyat) dan karena itu keberlebihan (ifrat) dan keberkurangan (tafrit) suatu keadaan yang bagi mereka hanyalah dua sebab penyakit moral. Thusi pertama kalinya berpendapat bahwa peyimpangan bukan dari segi jumlah tetapi juga dari segi mutu, dan untuk penyimpangan jenis baru ini dia menamakannya perbuatan yang tak wajar (radaat). Dengan begitu maka penyakit moral itu bisa disebabkan oleh salah satu dari tiga sebab ini: 1. Keberlebihan 2. keberkurangan, atau 3. kewajaran akal, kemarahan atau hasrat. Ini cukup menjelaskan bahwa ketakutan membentuk ketidak wajaran, kemarahan dan kesedihan membentuk ketakwajaran hasrat. Dengan menggunakan teori tiga sebab akibat Thusi menggolong-golongkan penyakit-penyakit fatal akal teoritis menjadi kebingungan (hairat) , kebodohan sederhana (jahl-i basit) dan kebodohan fatal (jahl-i murakkab). Ketiga jenis penyimpangan ini terwujud dalam sikap berlebihan, serba kekurangan dan ketidak wajaran. Menurut Thusi, kebingungan disebabkan oleh ketidak mampuan jiwa untuk membedakan kebenaran dan kesalahan disebabkan oleh kekacauan argumentasi yang digunakan dalam pembuktian sesuatu. Kebodohan sederhana disebabkan karena jiwa tidak dapat menangkap dengan baik pengetahuan yang sebebarnya bisa diketahui. Sedangkan kebodohan fatal merupakan kelanjutan dari kebodohan pertama saat manusia merasa puas dengan kebodohannya. Menurut Thusi, semua penyakit ini bisa disembuhkan dengan upaya pengembangan kerja nalar dan pelatihan yang memadai. Meskipun berobjek individu, Thusi menganggap bahwa masyarakat ikut berperan dalam menentukan kehidupan moral. Hal ini karena pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial. Tiap individu ditakdirkan untuk mendukung cinta kasih dan persahabatan serta membenci keterasingan individu. Atas pertimbangan ini, Thusi menilai bahwa keluarga (rumah tangga) sebagai lingkup terdekat dari keberadaan individu, penting untuk juga dibicarakan dengan memasukkannya sebagai kajian akal praktis. 2. Filsafat Ilmu rumah tangga Dengan menyatakan rasa berutangnya terhadap Ibnu Sina, Thusi mendefinisikan rumah (manzil) sebagai hubungan istimewa antara suami dan istri, orangtua dan anak-anak, tuan dan hamba serta kekayaan dan pemiliknya. Tujuan ilmu rumah tangga (tadbir-i manjil) adalah mengembangkan sisitem disiplin yang mendorong terciptanya kesejahteraan fisik, sosial dan mental kelompok utama ini, dengan ayah sebagai pemegang kendalinya, fungsi adalah menjaga dan memperbaiki keseimbangan keluarga. Kekayaan diperlukan guna mencapai tujuan-tujuan pokok pemeliharaan diri serta pemeliharaan keturunan. Untuk memperolehnya Thusi menyarankan agar manusia bekerja secara terhormat dan mencapai kesempurnaan dalam pekerjaan itu, tanpa menakan ketidakadilan, kekejian ataupun kekejaman. Dalam rumah tangga, Thusi menyarankan seorang lelaki untuk mencari sosok istri yang memiliki kecerdasan, integritas, kesederhanaan dan kelembutan hati. Bagi Thusi, kehormatan seorang perempuan terletak pada sifat-sifat itu, kekayaan dan kecantikan jasmani hanyalah unsur pelengkap saja. Tentang disiplin pendidikan anak dalam rumah tangga, Thusi menyetujui pandangan Ibnu Maskawaih yang memulai pendidikan anak lewat pujian., hadiah dan teguran yang lembut. Sikap kasar dan celaan terhadap kesalahan anak hanya akan membuatnya menjadi “penantang” yang keras kepala. 3. Filsafat Politik Lepas dari pandangan-pandangan Thusi sekitar masalah hidup pertapaan, persoalan-persoalan politik menurut Thusi dibicarakan sebagai kelanjutan dari pembicaraan tentang etika dan rumah tangga. Thusi banyak dipengaruhi oleh pandangan politik Al-Farabi, jika Al-Farabi menggunakan ilmu madani sebagai istilah untuk ilmu pemerintahan dan kemasyarakatan, Thusi menggunakan istilah siyasat al-mudun untuk kedua kajian tersebut. Manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial untuk memperkuat sikapnya, Thusi mengacu pada istilah insan, sebuah kata arab yang berarti manusia, yang secara harfiah berarti orang yang suka berkumpul dan berhubungan. Karena kemampuan alamiah untuk berteman itu (uns-i thabai) merupakan ciri menunjukan sepenuhnya watak ini terhadap sesamanya. Peradaban merupakan nama lain dari kesempurnaan ini. Inilah sebabnya Islam menekannkan keutamaan shalat berjamaah. Menurut Thusi pemerintahan adalah penegak hukum kedua masyarakat setelah ditegakkannya hukum Tuhan. Pemerintah mempunyai kewenangan untuk melihat situasi dan kondisi dalam tindakan penegakan hukum tersebut tanpa menyalahi hukum Tuhan. Dalam sistem pemerintahan yang mengakui hukum Tuhan sebagai hukum pertama, Thusi menganggap raja sebgai wakil Tuhan dalam kehidupan manusia. Thusi merumuskan elemen pembentuk tatanan kemasyarakatan (negara) dalam empat kelompok warga : cendikiawan, prajurit, petani dan pedagang. Tugas pimpinan dalam hubungannnya dengan keberadaan empat kelompok ini adalah mempertahankan negara dengan meningkatkan kesejahteraan tiap warga serta mengupayakan kehidupan bernegara yang harmonis. Mengingat beratnya beban yang harus diemban pemimpin negara, Thusi menyarankan agar pemimpinan memiliki latar belakang berikut : dari keluarga terhormat, bercita-cita tinggi, adil dalam penilaian dan keputusan, teguh pendirian, tegar menghadapi kesuliatan yang dihadapi, lapang dada dan berteman dengan orang-orang yang berbudi luhur. Terakhir, dalam pemikiran politik, Thusi juga menggagas persoalan etika dalam peperangan. Thusi tidak menyalahkan muslihat dalam diplomasi ketika menghadapi musuh. Namun demikian, Thusi tidak mentolerir pengkhianatan. Jika tidak ada jalan lain dalam berdamai, maka perang dimaklumatkan atas nama Tuhan dan dengan persetujuan seluruh umat. Bagi Thusi, jika sudah ada keputusan tentang pemenag dalam perang, pembunuhan tehadap lawan tidak dibenarkan. 4. Filsafat Metafisika Menurut Thusi, metafisika terdiri atas dua bagian, ilmu keTuhanan (ilm-i Ilahi) dan filsafat pertama (falsafah-i ula). Pengetahuan-pengetahuan tentang Tuhan, akal dan jiwa merupakan ilmu keTuhanan dan pengetahuan mengenai alam semesta dan hal-hal yang berhubungan dengan alam semesta merupakan filsafat pertama. Menurut Thusi logika dan metafisika sama sekali tidak dapat membuktikan eksistensi Tuhan secara rasional. Menurut Thusi, ilmu keTuhanan meliputi persoalan fundamental seputar keTuhanan, akal, jiwa dan hal-hal lain yang berhubungan dengan masalah-masalah tersebut. Termasuk juga di dalamnya masalah kenabian (nubuwwat), kepemimpinan spiritual (imamat) dan hari akhirat (qiyamat). Sedangkan kajian metafisika sebagai filsafat pertama meliputi persoalan-persoalan seputar alam semesta dan hal-hal yang berhubungan dengan alam semesta. Termasuk dalam kajian filsafat pertama; pengetahuan tentang ketunggalan dan kemajemukan, keniscayaan dan kemungkinan, esensi dan eksistensi serta kekekalan dan ketidak kekalan. Tentang Tuhan, Thusi berkeyakinan bahwa Tuhan tidak perlu dibuktikan secara logis. Eksistensi Tuhan mesti diterima dan disikapi sebagai postulat bagi pengetahuan dan bukan objek pembuktian atau untuk dibuktikan. Menurut Thusi, keterbatasan manusia tidak akan mungkin menangkap dan memahami eksistensi Tuhan yang tidak terbatas. Sampai titik ini dipastikan bahwa Thusi berbeda pandangan dengan para filosof muslim yang telah membicarakan Tuhan dalam alur rasionalitas dengan menggunakan kemampuan akal yang terbatas. Setelah menyangkal kemungkinan logis ateisme dan adanya dualitas pokok, Thusi tidak seperti Farabi, Ibnu Maskawaih dan Ibnu Sina, mengemukakan bahwa logika dan metafisika sama sekali tidak membuktikan eksistensi Tuhan secara rasional. Sebagai penyebab utama adanya bukti-bukti, dan karenanya merupakan dasar semua logika dan metafisika, dia sendiri tidak tergantung kepada bukti-bukti logis. Sebagaimana hukum-hukum dasar dari logika formal, ia tidak memerlukan dan memberikan kemungkinan untuk pembuktian. Ia adalah prinsip logika kosmik yang bersifat a priori, mendasar, perlu dan membuktikan diri. Eksistensi-Nya harus diterima dan dianggap sebagai postulat, bukannya dibuktikan. Selanjutnya, Thusi mengemukakan bahwa bukti mengisyaratkan pemahaman sempurna tentang sesuatu yang harus dibuktikan, dan karena mustahil bagi manusia yang terbatas untuk memahami Tuhan di dalam keseluruhan-Nya, maka mustahil pula bagi manusia untuk membuktikan eksistensi-Nya. 5. Filsafat Alam Persoalan mengenai apakah dunia itu kekal (qadim) atau diciptakan oleh Tuhan dari ketidakadaan (hadis), merupakan salah satu masalah yang paling membingungkan dalam filsafat Muslim. Aristoteles mendukung pendapat bahwa dunia ini kekal, menyifatkan geraknya pada penciptaan Tuhan sang penggerak utama. Ibnu Maskawaih setuju dengan Aristoteles yang menganggap Tuhan sebagai penyebab adanya gerakan, tapi tidak seperti filosof Yunani, dia mengemukakan bahwa dunia ini baik dalam bentuk maupun materinya diciptakan oleh Tuhan dari ketakadaan. Thusi dalam karyanya Tashawwurat (yang ditulis pada pemerintahan Ismailiah) melakukan suatu upaya perujukan secara setengah hati antara Aristoteles dan Ibnu Maskawaih. Dia memulai dengan mengecam doktrin Creatio ex Nihilo. Pandangan yang menyatakan adanya waktu ketika dunia ini belum maujud dan kemudian Tuhan menciptakannya dari ketiadaan, secara jelas mengisyaratkan bahwa Tuhan bukanlah pencipta sebelum adanya pencipta dunia ini atau kekuatan penciptaan-Nya masih bersifat potensial yang dikemudian hari baru diwujudkan, dan ini merupakan sangkalan atas daya cipta-Nya yang kekal. Oleh sebab itu logisya, Tuhan itu selamanya merupakan pencipta yang mengaitkan eksistensi penciptaan kepada diri-Nya. Dunia ini dengan kata lain merupakan sesuatu yang sama kekalnya dengan Tuhan. Disini Thusi menutup pembahasannya ini secara tiba-tiba dengan mengemukakan bahwa dunia ini kekal karena kekuasaan Tuhan yang menyempurnakannya, meski dalam hak dan kekuatannya sendiri, ia tercipta (muhdats). Dalam kitab Tashawwurat, Thusi setuju dengan Ibnu Sina yang berpendapat bahwa dari satu ketiadaan dapat muncul satu, dan dengan mengikuti prinsip ini, dia menerangkan asal (shudur) dunia ini dari kemaujudan yang pasti itu dengan gaya Neo-Platonik. Dalam karyanya, Risaleh-i ‘Aql, Risaleh-i ‘Hal wa Ma’lu-lat, dan Syarh-Hsyarat juga dia mendukung, baik secara logis maupun matematis, penjamakan dalam proses penciptaan sebagai suatu keseluruhan. Akan tetapi, dalam karya berikutnya, Qawa’id al-Aqa’id, Tajrid al-‘Aqa’id, dan Fushul, dia secara jelas menyerang dan menumbangkan dasar paling penting dari prinsip ini, yang sebelumnya amat dia percayai. Refleksia akal pertama dikatakannya sebagai telah menciptakan akal, jiwa, dan tubuh lingkungan pertama. Dikemukakannya bahwa sikap ini secara jelas mengisyaratkan kemajemukan pada yang tercipta pada akal pertama, yang bertentangan dengan prinsip bahwa dari satu ketakadaan muncul satu. Adapun mengenai sumber kemajemukan, lebih jauh dia mengemukakan bahwa kemajemukan bisa maujud melalui wewenang Tuhan dan bisa pula tanpa wewenang Tuhan, tidak ada keraguan lagi bahwa ia datang dari Tuhan. Di pihak lain, jika ia maujud tanpa wewenang Tuhan, itu berarti adanya Tuhan selain Allah. Hal itu diungkapkan kembali dalam Tashawwurat, Thusi berpandangan bahwa refleksi Tuhan sepadan dengan penciptaan dan merupakan hasil dari kesadaran diri-Nya. Akan tetapi, dalam Fushul, dia meninggalkan sikap itu sepenuhnya. Di situ, dia menganggap Tuhan sebagai pencipta yang bebas dan menumbangkan teori mengenai peciptaan karena desakan. Jika Tuhan menciptakan karena Dia butuh mencipta, Thusi mengemukakan, berati tindakan-tindakan-Nya tentu berasal dari esensi-Nya. Dengan begitu, jika satu bagian dari dunia ini menjadi tak maujud, esensi Tuhan itu tentu juga menjadi tiada; karena penyebab keberadaannya itu ditentukan oleh ketiadaan satu bagian dari penyebabnya. Hal itu selanjutnya ditetapkan oleh ketiadaan bagian-bagian lain dari penyebabnya, dan seterusnya. Karena semua yang ada itu bergantung kepada perlunya Tuhan, ketiadaan mereka akhirnya menjadikan ketiadaan Tuhan sendiri. 6. Filsafat Kenabian Thusi menggaris bawahi kepentingan-kepentingan yang membuat peristiwa kenabian menjadi krusial. Kebebasan individualitas dalam tindakan moral dan pengetahuan tidak semuanya menjadi kebaikan. Maka atas pertimbangan ini, aturan suci yang membahas pengetahuan keTuhanan, penafsiaran atas aturan itu dan hal-hal lain yang berhubungan dengan prinsip keteraturan, perlu untuk segera diturunkan kepada manusia yang telah menemukan lingkar individualitasnya masing-masing. Masalah baru muncul, bukan karena Tuhan tidak bisa membuat aturan suci yang gampang ditangkap dan dimengerti seluruh manusia. Sumber dari permasalahan ini adalah perbedaan wujud Tuhan yang tidak terbatas dengan wujud bukan-Tuhan yang terbatas dan terperangkap dalam berbagai kategori inderawi. Hal ini jelas mengandaikan bahwa Tuhan membutuhkan para perantara yang bisa dipercaya dan yang dinilai mampu menghubungkan kehendak-Nya dan manusia. Para perantara itu adalah Nabi-nabi dari bangsa manusia yang dibekali dengan kemampuan menerima petunjuk Tuhan melaui perantara suci lain. Keberdaan Nabi dari bangsa manusia dimaksudkan untuk mempermudah proses pelaksanaan aturan-aturan tersebut dalam tindak keseharian manusia. Adapun tentang imam (kepemimpinan spiritual), Thusi menilai bahwa tugas kenabian mesti dilanjutkan dan tidak hanya terhenti sampai batas waktu kehidupan Nabi-nabi. Para penerus misi kenabian itulah yang berhak menjadi pemimpin spiritual. Setelah menetapkan kebebasan berkehendak dan kebangkitan kembali tubuh. Thusi menetapkan perlunya kenabiaan dan kepemimpinan spiritual. Pertentangan minat serta kebebasan invidu mengakibatkan tercerai-berainya kehidupan sosial dan ini memerlukan aturan suci dari Tuhan untuk mengatur urusan-urusan manusia. Tapi Tuhan sendiri berada diluar jangkauan indera oleh karena itu dia mengutus para nabi untuk menuntun orang-orang. Ini pada gilirannya, memerlukan pranata kepemimpinan atau spiritual setelah para nabi itu untuk menerapkan aturan suci tersebut. 7. Filsafat Logika Seperti juga filosof lain, Thusi tidak membicarakan filsafat sebelum memahami disiplin logika yang merupakan jalan filsafat. Dalam logika, Thusi menyusun karya Asa Al-Iqtibas, sebagai penjelasan sederhana atas prinsip dasar logika Ibnu Sina dalam Al-Syifa dengan menggunakan bahasa Persia. Thusi menilai bahwa logika mencakup dua wilayah epistemis; logika sebagai ilmu dan logika sebagai alat ilmu. Menurut Thusi, logika sebagai ilmu, bertujuan untuk memahami makna-makna dan sifat-sifat dari objek-objek yang hendak dipahami. Sedangkan jika dikondisikan sebagai alat ilmu, logika merupakan kunci untuk memahami berbagai ilmu. Kemudian Thusi menambahkan, logika bisa menjadi seni yang bermanfaat (sana’at). Jika pengetahuan tentang makna dan sifat dari sebuah objek, sudah benar-benar mengakar dalam pikiran dan tidak membutuhkan semaam refleksi lagi. Dalam arti seni, logika adalah pembebas pikiran dari kesalahan-pengertian dan kekacauan konsep. 8. Filsafat Jiwa Menurut Thusi, jiwa merupakan substansi sederhana yang immaterial, dapat dirasa dengan sendirinya dan tidak memerlukan pembuktian atas keberadaannya. Jiwa adalah pengontrol tubuh melalui otot-otot dan alat-alat perasa, tapi ia sendiri tidak dapat dirasa lewat alat-alat tubuh. Berbagai ragam yang dapat diterima oleh jiwa, seperti persoalan logika, fisika, matematika, teologidan sebagainya, tidak bercampur baur dan dapat diingat dengan jelas. Tentu hal ini tidak mungkin terdapat pada suatu substansi material yang kapasitasnya terbatas. Oleh karena itu, jiwa adalah sunstansi immaterial. Dapat dikatakan bahwa jiwa mempunyai cukup kemampuan untuk menempatkan semua gagasan dan konsep objek yang dikenalnya ke dalam banyak ruang agar siap pada waktu diperlukan. Ini juga membuktikan bahwa jiwa merupakan suatu substansi yang sederhana dan immaterial. Dalam ungkapan umum “kepalaku, mataku, telingaku,”kata”ku” menunjukan individualitas (huwiyyah) jiwa, yang memiliki anggota-anggota tubuh ini, dan bukan jasmaniahnya. Memang jiwa memerlukan tubuh sebagai alat penyempuran dirinya, tetapi ia tidak begitu dikarenakan pemilikannay akan tumbuh. Klasifikasi jiwa dalam pandangan Thusi tidak jauh berbeda dengan pemikiran para filosof sebelumnya. Thusi menerima adanya jiwa vegetatif, hyawani, manusiawi dan menambahkan satu jenis lagi, yakni jiwa imajinatif. Jiwa imajinatif menempati ruang antara jiwa hayawani dan jiwa manusiawi. Menurut Thusi, peletakan posisi jiwa jenis imajinatif di antara jiwa hayawani dan manusiawi karena jiwa imajinatif bekerja ganda; pertama, berhubungan dengan persepsi-persepsi rasa, dan kedua, ikut serta dalam kerja abstraksi-abstraksi rasional. Dengan kata lain, jika jiwa imajinatif diletakkan dalam satu tempat bersama jiwa hayawani, maka jiwa itu akan terus bergantung dengan prinsip-prinsip hyawani yang kan musnah. Dan jika jiwa imajinatif diletakan dalam satu tempat bersama jiwa manusia, maka jiwa itu akan kehilangan “otonomi”nya dan tergantung terus dengan tubuh. Selanjutnya, Thusi meyakini bahwa jiwa manusia dicirikan dengan adanya akal yang berstatus sebagai penerima pengetahuan dari akal pertama. Thusi juga membedakan akal dalam dua bagian; akal teoritis dan akal praktis. Akal teoritis dipahami sebagai potensialitas yang berwujud dalam empat tingkatan; akal material (‘aql hayulani), akal malaikat (‘aql malaki), akal aktif (‘aql bi al-fi’il) dan akal perolehan (‘aql mustafad). Thusi menambahkan, pada tingkatan akal perolehan, segala bentuk konseptual yang terdapat dalam jiwa terlihat nyata. Sedangkan dalam kasus akal praktis menurut Thusi, ia berhubungan dengan perbuatan-perbuatan keseharian manusia. Potensialitas akal ini terwujud dalam tindakan moral personal dan sosial. D. Pengaruh Filsafat Nasiruddin Ath-Thusi Pengaruh Thusi dalam peradaban dunia telah dibuktikan dengan sikap keberanian Thusi, bahwa kehancuran politik tidak berarti secara otomotis memusnahkan kehidupan intelektual. Apa yang dialami dunia islam pada masa disintegrasi yang ditandai dengan kehancuran Baghdad dan berakhirnya daulah ‘Abbasiyyah, ternyata Thusi mampu memanfaatkan “keberingasan” Hulagu khan untuk menyelamatkan khazanah untuk pemikiran muslim. Dengan demikian, kebangkitan kembali atau perkembangan ilmu-ilmu dan filsafat di penghujung abad VII H/XII M, berpusat disekitar pribadi Thusi, sehingga berbagai gelar diberikan kepadanya. Al-Thusi memandang umat islam terdiri atas asosiasi tunggal, sebagaimana pengertian aristoteles, sikap saling membantu dan mencintai serta kerja sama membimbing manusia untuk mencapai kesempurnaan. Hal ini secara tidak langsung melahirkan kemanunggalan semua orang pada manusia sempurna, sebagaimana diajarkan dalam doktrin Syiah Isma’iliyyah. Di sini dapat kita lihat sepertinya Al-Thusi telah berhasil dalam mengintegrasikan pemikiran aristoteles dan syiah secara lebih mendalam berikut adalah beberapa kontribusi Al-Thusi pada ilmu pengetahuan. 1. Fisika dan Kimia : berkaitan dengan kekekalan materi, beliau berpendapat bahwasanya materi tidak dapat dihilangkan, tetapi dapat berubah bentuk, kondisi, komposisi, warna, atau sifat lainnya. Perubahan ini bisa saja menjadi kompleks, bahkan bisa ke lebih sederhana. 2. Matematika : hukum sinus pada segitiga datar (plane triangles) adalah salah satu buah pikir beliau, yaitu rumus (a/sin A) = (b/sin B) = (c/sin C). Beliau juga menemukan dan membuktikan hukum tangen pada spherical triangle. Dan pada tahun 1265, Nasiruddin menulis manuskrip tentang penghitungan akar ke-n sebuah bilangan bulat. 3. Biologi : Nasiruddin dipercaya sebagai Darwin-nya abad ke-13. Teori evolusinya diawali dengan alam semesta yang mengandung unsur-unsur yang hampir mirip dan seimbang jumlahnya. Kemudian, terjadilah kontradiksi internal dan beberapa senyawa berkembang lebih cepat daripada senyawa lainnya. Nasiruddin juga menjelaskan evolusi dari elemen-elemen dasar tadi menjadi bentuk mineral, tumbuhan, hewan, kemudian manusia. 4. Astronomi : Nasaruddin pernah meyakinkan Hulagu Khan, penguasa dari Mongol, untuk membangun observatorium guna membuat tabel astronomi yang lebih akurat untuk memprediksi astrologi. Pada tahun 1259, dibangunlah Observatorium Maragheh (Rasad Khaneh) di Maraghen, Provinsi Azebaizan Timur. Dalam buku Zij-i II-Khani terdapat tabel yang akurat tentang pergerakan planet dan juga nama-nama bintang. BAB III PENUTUP A. Simpulan Abu Ja’far Muhammad ibn Muhammad Al-Hasan Nashiruddin Al-Thusi Al-Muhaqqiq lahir pada tanggal 18 februari 1201 M bertepatan dengan tahun 597 H di Thus, Khurasan. Karl Brockelmann mengumpulkan tidak kurang dari 56 judul karya Thusi, sementara Ivanov mengatakan bahwa karya Thusi ada 150 judul, sedangkan Mudarris Ridwi menyebutkan sekitar 130 judul. Pemikiran Thusi banyak diilhami oleh pikiran-pikairan Aristoteles, Al-Farabi dan juga adat istiadat negara iran (syiah) yang begitu kuat pada saat itu. Sebagai pengikut syiah, ia sangat dekat dengan tradisi pemikiran imamiyah, tentang nubuwah dan keadilan, yang kesemuanya itu sangat memengaruhi pemikiran politiknya. Pengaruh Thusi dalam peradaban dunia telah dibuktikan dengan sikap keberanian Thusi, bahwa kehancuran politik tidak berarti secara otomotis memusnahkan kehidupan intelektual. Apa yang dialami dunia islam pada masa disintegrasi yang ditandai dengan kehancuran Baghdad dan berakhirnya daulah ‘Abbasiyyah, ternyata Thusi mampu memanfaatkan “keberingasan” Hulagu khan untuk menyelamatkan khazanah untuk pemikiran muslim. Dengan demikian, kebangkitan kembali atau perkembangan ilmu-ilmu dan filsafat di penghujung abad VII H/XII M, berpusat disekitar pribadi Thusi, sehingga berbagai gelar diberikan kepadanya. B. Saran Makalah yang kami buat ini jauh dari pada kesempurnaan, maka dari itu kami minta kepada pembaca agar memberikan kritik dan saran kepada penulis agar makalah kedepannya dapat kami perbaiki, terima kasih, semoga bermanfaat, DAFTAR PUSTAKA Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam : Konsep, Filsafat, dan Ajarannya. Bandung:Pustaka Setia .2009 Hasan Basri, Zaenal Mufti. Filsafat Islam Sejak Klasik Sampai Modern. Bandung : Insan Mandiri. 2009 Hasyimsyah Nasution. Filsafat Islam. Jakarta : Gaya Media Pratama. 1999 Mustafa A. Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia. 2007 Syarif M. Para Pilsafat Islam. Bandung: Mizan. 1985 Yaya sunarya. .Pengantar Filsafat Islam. Bandung : CV Arfino Raya. 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar