Senin, 07 April 2014

Mulla Sadra

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Zaman intelektual Islam di mulai pada abad kesembilan sampai ketiga belas masehi ditandai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dari berbagai spesifikasi telah membawa Islam kepada puncak peradaban dunia. Semua itu, karena dibangun di atas pondasi kuat lewat pola interaksi serta asimilasi antar lintas sosial, kultural dari multi etnis, bahasa, agama dan bangsa. Dengan mengadopsi dan merekonstruksi warisan ide – ide pemikiran yang berasal dari peradaban sebelumnya, tentunya juga mengadakan observasi, menemukan ide pemikiran dan temuan baru. Salah satu spesifikasi keilmuan yang berpengaruh besar pada pengembangan dan kelangsungan pengetahuan lain yakni filsafat merupakan bidang garapan pemikir muslim sebagai kelanjutan proses budaya yunani, oleh pemikir (Filosof) muslim di rekonstruksi sedemikian rupa agar sejalan dengan ajaran – ajaran Islam, maka muncul filosof – filosof tersebut dengan konsep mereka masing – masing. Namun pada abad ke XIV, M filsafat mengalami kemandekan akibat serangan al-Ghazali, tetapi ini hanya berlangsung di dunia Islam sunni, sedangkan di dunia Islam Syi’ah filsafat terus berkembang dan melahirkan filosofi terkemuka, antara lain yang terpenting adalah Mulla Sadra ia seorang filosofi muslim terbesar dan orisinil karena berhasil membuat sistesis antar mazhab filsafat serta menemukan konseb terbaru dimana salah satunya tentang Theosofi Transendental (al-Hikmat al-Muta’aliyah). Namun sangat disayangkan, kajian tentang filsafat teologis atau theosofi Mulla Sadra, masih sedikit (untuk tidak mengatakan belum ada) menjadi objek study, baik dalam skala kecil penelitian awal, makalah maupun dalam skala besar. Untuk itu, sebagai bentuk apresiasi terhadap gagasanya, patut kiranya untuk memperdalam kajian tentang theosofi Mulla Sadra. Dalam hal untuk memenuhi tuntutan diatas, makalah yang kami buat ini, paling tidak menemukan momentumnya. Untuk itu, sebagai semacam rumusan masalah, yang hendak diungkap dalam makalah ini adalah 1). Siapa itu Mulla Sadra, 2). Bagaimana konsep dia tentang hikmah al-muta’aliyah (theosofi transcendental? Di awal abad ke 11 terjadi perubahan besar dalam substansi pengkajian dan sistimatika pembahasan konsep-konsep ketuhanan dalam filsafat Islam. Sebelum abad kesebelas terdapat empat aliran filsafat yang bersifat mandiri, terpisah satu sama lain dan masing-masing berpijak pada teori dan gagasannya sendiri-sendiri. Tapi di awal abad ke sebelas empat aliran tersebut berhasil dipadukan dan disatukan oleh Mulla Shadra sehingga melahirkan satu aliran dan sistem filsafat baru yang dia sebut al-Hikmah al-Muta’aliyah. Aliran filsafat baru ini, disamping memanfaatkan warisan pemikiran dan kaidah-kaidah filsafat terdahulu, juga dapat menjembatani antara pemikiran-pemikiran filsafat dan doktrin-doktrin suci agama. B. Rumusan Masalah 1. Apa Biografi dari Mulla Sadra? 2. Apa saja yang menjadi karya-karya dari Mulla Sadra? 3. Bagaimana Filsafat dari Mulla Sadra? 4. Bagaimana pikiran Mulla Sadra mengenai Al-Hikmah Al-Muta’aliyah? 5. Mengapa adanya pengaruh Filsafat Mulla Sadra? BAB II PEMBAHASAN A. BIOGRAFI DAN SETTING SOSIAL MULLA SADRA Sadr al-Din Muhammad ibnu Ibrahim ibn Yahya al-Qawami al-Shirazi, yang dikenal dengan Mulla Shadra atau Sadr al-Muta'allihin. Para muridnya memanggilnya dengan sebutan Akhund. Ia dilahirkan di Shiraz, Iran, sekitar 1571 M, dari keluarga terpandang, Qawam. Ayah Mulla Shadra, Ibrahim bin Yahya Al Qawami Al Shirazi, merupakan orang berilmu dan saleh. Ia pun pernah menjabat sebagai Gubernur provinsi Fars. Sang ayah, memiliki kekuasaan yang istimewa di kota Shiraz. Tidak heran, jika Mulla Shadra mendapatkan perhatian dan pendidikan yang terbaik. Apalagi berabad sebelumnya, Shiraz merupakan pusat ilmu, baik filsafat maupun ilmu tradisional lainnya. Kondisi ini membuatnya cepat menguasai beragam ilmu baik Bahasa Arab maupun Persia, al-Qur'an dan Hadits serta bidang ilmu lainnya. Meski demikian, hal itu tidak membuat Mulla Shadra merasa puas. Maka untuk memuaskan rasa dahaganya akan ilmu, ia meninggalkan kota kelahirannya menuju Isfahan. Di sana ia mendapatkan bimbingan dari dua orang guru yang mumpuni keilmuannya. Yakni Syekh Bahauddin al-Amili, biasa disebut Syekh Baha'i, yang terkenal sebagai teolog, sufi, ahli hukum, filosof juga seorang penyair. Ilmu-ilmu keagamaan ia serap dari gurunya itu. Pada periode yang sama, Mulla Shadra juga mendapatkan bimbingan dari Sayid Muhammad Baqir Astrabadi, lebih dikenal Mir Damad, terutama ilmu-ilmu intelektual. [Nurul Farida, 2005: 22]. Selanjutnya ia meninggalkan Isfahan untuk menuju desa Kahak. Ia menjalani kehidupan menyendiri untuk memenuhi dahaga spiritualnya. Langkah yang ia tempuh juga merupakan upaya untuk menghindari tekanan yang ia terima dari kalangan intelektual lainnya terhadap doktrin gnostik dan metafisik yang ia lontarkan. Tidak hanya itu, jalan yang ia tempuh ternyata bertolak dari kesadaran dalam dirinya. Sebelumnya, ia begitu mengandalkan kemampuan intelektualnya. Mulla Shadra tersadar, seharusnya berserah diri kepada Allah dengan jiwa yang suci dan ikhlas merupakan jalan yang ia tempuh pula. Hal tersebut dia lakukan kurang lebih 15 tahun. Laku spiritual yang ia tempuh ternyata memberikan sebuah pencerahan diri. Ia menyatakan bahwa kebenaran mistik pada dasarnya adalah kebenaran intelektual. Pengalaman mistik merupakan pengalaman kognitif. Pemikirannya itu ia tuangkan dalam sebuah karya al-Hikmah al-Mutaaliyah fi al-Asfar al-Aqliyyah al-Arba'ah (Empat Perjalanan Intelektual). Selesai masa penyucian diri tersebut, Mulla Sadra banyak mendidik murid-muridnya serta mengarang beberapa buku, lebih dari 50 buku sudah ditulis, diantaranya; al-Hikmah al-Muta’aliyah fi al-Asfar al-‘Aqliyah al-Arba’ah, al-Mabda’ wa al-Ma’ad, al-Syawahid al-Rububiyah fi al-Manahij al-Sulukiyyah, Kitab al-Masya’ir, Tafsir al-Qur’an al-Karim, Asrar al-Ayat wa Anwar al-Bayyinat, Mutasyabihat al-Qur’an, al-Masail al-Qudsiyyah, Ajwibah al-Masail, Ajwibah al-Masail Syamsuddin Muhammad al-Jilani, Ajwibah Masail al-Nashiriyah, al-Hikmah al-Arsyiyah, al-Waridah al-Qolbiyyah fi al-Ma’rifah al-Rububiyah, al-Mazhahir al-Ilahiyyah fi al-Asrar al-Ulum al-Kamaliyah, Iksir al-‘Arifin fi Ma’rifati Thariq al-Haq wa al-Yaqin, Kasr al-Ashnam fi Dzamm al-Muthashawifin, Risalah fi al-Thishaf al-Mahiyah bi al-Wujud, Risalah fi al-Tayakhus, Risalah fi Surayan al-Wujud, Risalah fi al-Qada wa al-Qadar, Risalah fi Hudus al-‘Alam, Risalah fi al-Hasyr, Risalah fi al-Khalq al-A’mal, al-Lama’ah al-Masyriqiyah fi al-Funun al-Malikiyyah, Risalah fi al-Thashawwur wa al-Tashdiq, Risalah fi Ittiahad al-‘Aqil wa al-Ma’qul, Syarh al-Ushul min al-Kafi, Syarh al-Ilahiyyat al-Syifa’, Ta’liqat Syarh al-Hikmat al-Isyraq, Zad Musafir. B. KARYA-KARYA MULLA SADRA Mulla Sadra menyusun tidak kurang dari lima puluh buah karya yang sebagian besarnya dalam bahasa Arab. Menurut Fazlur Rahman, karya Mulla Sadra seluruhnya berjumlah 32 atau 33 risalah. Kebanyakan karya Sadra diterbitkan sejak seperempat terakhir abad ke-19, sebagian lebih dari satu kali, sedang risalah-risalah tertentu yang lebih kecil belum diterbitkan.11 Dari keseluruhan karya Mulla Sadra itu ada yang berusaha membaginya menjadi karya murni bersifat filosofis dan karya yang bersifat religius, berdasarkan tema sentral yang dikandungnya. Begitu juga, berdasarkan orisinalitas ide dalam karya Mulla Sadra, ada yang membaginya menjadi karya asli dan karya yang memuat penjelasanpenjelasan tentang tulisan-tulisan filosofis sebelumnya; seperti penjelasannya tentang metafisika Ibnu Sina yang terdapat di dalam al- Syifa dan Hikmat al-Isyraq Suhrawardi.12 Namun Mulla Sadra sendiri menganggap bahwa kedua komponen atau kumpulan ilmu itu berkaitan dan tidak boleh dipisahkan satu sama lain. Keduanya lahir dari suatu puncak atau sumber yang sama, yaitu hadirat Tuhan (Nasr, 1992 : 30). Dengan itu maka kita dapati Sadra membincangkan persoalan ilmu akal atau intelek di dalam kumpulan kitab ilmu naqli, dan sebaliknya pula membincangkan ilmu ketuhanan di dalam. Menurut tabataba’i sebagaimana dikutip Nasr, karya mulla sadra tidak kurang dari 46 judul ditambah 6 risalah. Akan tetapi, Fazlur Rahman menyebutkan berjumlah 32 atau 33 risalah, sebagian besar karya-karya tersebut telah dipublikasikan sejak seperempat terakhir abad XIX. Hanya risalah-risalah kecil tertentusaja yang belum dipublikasikan. Karya-karya Mulla Sadra pada umumnya flusufis dan religius, telah menyatu dan saling melengkapi. Berikut ini adalah karya-karya Sadra. 1. AL-Hikmah AL-Muta’aliyah fi Asfar Al-‘aqlyah AL-Arba’ah (teosofi transendental yang membicarakan empat perjalanan akal pada jiwa) lebih dikenal dengan sebutan Asfar. Kitab ini merupakan karya monumental karena menjadi dasar bagi karya pendeknya, juga menjadi risalah pemikiranpasca-Avicennian pada umumnya. Kitab ini menjelaskan penggambaran intelektual dan spiritual manusia kehadirat Tuhan. Selain itu, kitab ini juga membuat hampir semua persoalan yang berkaitan dengan wacana pemikiran dalam islam: ilmu kalam, tasawuf, dan filsafat. Penyajiannya menggunakan pendekatan morfologis, metafisis, dan historis. 2. Al-Hasyr (Tentang kebangkitan). Buku initerdiri atas delapan bab yang menjelaskan hari kebangkitan dan semua ciptaan Tuhan: Materi, manusia dan tumbuhan akan kembali kepada-Nya. Nama lain kitab ini adalah Tarh Al-Kawnayn fi Hasyr Al-‘Alamin. 3. Al-Hikmah Al-‘Arsyiyah (Hikmah diturunkan dari ‘Arsy Ilahi). Buku ini menjelaskan Tuhan, kebangkitan (resurrection), dan kehidupan manusia setelah mati. 4. Hudus Al-’Alam (Penciptaan Alam). Kitab ini berisi tentang asal usul penciptaan alam dan kejadiannya dalam ‘waktu’ berlandaskan atas al-harakah al-jauhiriyyah dan penolakan atas pemikiran Mir Damad. 5. Kalq Al-A’mal (Sifat kejadian perbuatan Manusia). Buku ini membicarakansifat kejadian perbuatan manusia; kebebasan atau ketentuan atas tindakan manusia. Sadra mengeluarkan pandangan yang berbeda dengan pendapat para ulama kalam. 6. Al-Masya’ir (Kitab) Merupakan salah satu dari kitab Sadra yang utama dan paling banyak dikaji dewasa ini, mengandung ringkasan teori ontologinya.15 7. Mafatih Al-Ghaib (Kunci Alam Ghaib) Merupakan karya Sadra yang sangat mendasar dalam masa kematangan dalam ilmu. Ramuan ilmu berdasarkan doktrin ‘irfan 8. Kitab al-masya’ir (kitab penembusan metafisika) salah satu kitab sadra yang paling banyak dipelajari dalam tahun-tahun belakangan ini mengandung ringkasan teori ontologi. Buku ini banyak dikaji dan di sarah para pemikir persia 9. Al-mizaj (tentang prilaku perasaan). Membicarakan tentang prilaku akibat dari bawaan, perangai dan sifat sebagai cabang dari ilmu jiwa 10. Mutasyabihat al-qur’an (ayat-ayat yang bersifat mutasyabihat dalam Al-quran ). Memperbincangkan tentang ayat-ayat yang sukar difahami dan bersifat metafora dari sudut irfan C. FILSAFAT MULLA SADRA Kontribusi Mulla Sadra dalam pergumulan filsafat islam dibuktikan dengan hadirnya sebuah karya monumental, Al-Hikmah Muta’aliyyah. Namun, dalam mencapai karya yang begitu agung tersebut, sadra telah melewati proses perjalanan intelektual-spiritual yang panjang. Proses tersebut patut diungkap sebagai bahan pembelajaran yang sarat dengan nilai-nilaidan kekuatan filsafat Sadra. Secara global, filsafat Mulla Sadra dibagi menjadi lima permasalahan filsafat. 1. Filsafat pengetahuan atau epistemologi Mulla Sadra menetapkan tiga jalan utama untuk mencapai kebenaran atau pengetahuan: jalan wahyu, jalan ta’aqqul (inteleksi) atau al-burhan (pembuktian), serta jalan musyahadah dan mukasyafah, yatu jalan penyaksian kalbu dan penyingkapan rasa hati, yang dicapai melaui penyucian diri dan penyucian kalbu. Bagi Sadra, filsafat dapat dibedakan menjadi dua bagian uatama: pertama, bersifat teoritis, yang mengacu pada pengetahuan tentang segala sesuatu sebagaimana adanya. Perwujudan tercemin dalam dunia akali, termasuk jiwa didalamnya sebagaimana dikemukakan oleh Al-Farabi dan Ibnu Sina. Kedua, bersifat praktis, yang mengacu pada pencapaian kesempurnaan-kesempurnaan yang cocok bagi jiwa. Perwujudannya adalah mendekatkan diri kepada Tuhan, melaui semacam imitatio Dei yang membuat jiwa berhak memperoleh suatu hak istimewa seperti itu. 2. Filsafat ketuhanan (Metafisika) Filsafat kedua Nulla Sadra berkenaan dengan metafisika atau ontologi yang membahas proses panjang sesuatu sampai pada tingkat kesatuan maujud. Hal itu dimulai dengan pemahan yang utuh apa itu eksistensi dan esensi. Mulla Sadra telah memberikan finalisasi konsep tersebut. Realitas sejarah menunjukkan hampir semua filsuf menjadikan objek pertama pembahasannya adalah tentang eksistensi dan esensi tentang ketuhanan sebagaimana Fazlur Rahman mengungkapkan bahwa: “dari pengalaman sehari-hari, kita memang tak bisa menyangsikan realitas luar dan realitas dalam pikiran kita. Kedua-duanya ada, kedua-duanya dapat dijadikan subjek alias pokok kalimat berupa kata benda. Semua yang ada dapat dijadikan pokok kalimat. Inilah yang disebut Aristoteles sebagai substansi. Bagi Aristoteles, substansi atau zat itulah yang mempunyai eksistensi. Yang lainnya, kata kerja, kata sifat, dan sebagainya merupakan keterangan alias aksiden yang ditambahkan atau esensi yang melekat pada substansi. Pengetahuan kita tentang substansi itu termasuk aksiden. Tetapi, pengetahuan diri kita masuk esensi, begitu juga pengetahuan Tuhan tentang diri-Nya. Begitu pula sifat-sifat Tuhan lainnya. Lalu manakan yang lebih fundamental antara keduanya?” 3. Esensi dan Eksistensi Term wajd alam bangunan tasawuf klasik erat kaitannya dengan ekstase. Ekstase spiritual datang ke dalam hati secara tak terduga-duga. Mereka yang mengalaminya tak lagi menyaksikan dirinya sendiri dan orang lain. Kemabukan datang melalui energi spiritual yang terhambat dahsyat yang turun kepala seorang hamba, menyelimuti indra-indra dan menyebabkan reaksi-reaksi fisik yang hebat. Kemabukan menguasai tubuh, pikiran, dan hati. 4. Al-Hararkah Al-Jauhariyysh (Gerakan Substansial) Kontribusi Mulla Sadra dalam gerakan substansi (al-harakah al-jauhiriyyah) melengkapi para filsuf sebelumnya, di mana mereka berpendapat bahwa gerakan hanyaterjadi pada empat kategori aksiden: kuantitas (kammiyat), kualitas (kaffiyat), posisi (Wad’), dan tempat (‘ayn). Dengan kata lain, substansi tidak berubah, tetapi hanya empat kategori aksiden yangberubah. Jika substansi berubah, kita tidak dapat menetapkan judgment tentangnya. Begitu kita mengeluarkan judgmen, ia sudah berubah menjadi yang lain. Menurut prinsip harakah jauhiriyyah, substansi wujud dunia ini mengalami transformasi terus-menerus, dengan menempatkan manusia sebagai pusat domain dunia yang menghubungkan seluruh skala wujud. Adapun pengaruh Mulla Sadra dapat dilihat dengan banyaknya murid dan penerus pemikirannya yang tampak pada kesinambungan gerakan isyraqi Syiah di Persia. 5. Filsafat Jiwa Mulla Sadra, sebagaimana Aristoteles, mendefinisikan jiwa sebagai entelenchy badan. Oleh sebab itu, makalah jiwa itu tidak bersifat abadi. Dalam arti bermula, jiwa itu dapat dipisahkan dan bebas dari materi. Untuk mengatakan bahwa itu terpisah dan bebas dari materi, hanyalah dengan menyakini adanya praeksistensi jiwa. Pada saat yang bersamaan, Mulla Sadra menolak pandangan Ibn Sina yang menyatakan bahwa jiwa adalah sebuah konsep realisional dan bukan merupakan suatu yang bersifat substantif. Bila jiwa sejak lahir berada didalam materi, kejiwaan tidak dapatdiartikan sebagai suatu relasi dimana seolah-olah jiwa memiliki eksistensi bebas, maka tidak mungkin untuk menyatukan jiwa dengan badan. D. PEMIKIRAN MULLA SADRA TENTANG AL-HIKMAH AL-MUTA’ALIYAH 1. Konsep al-Hikmah al-Muta’aliyah Ungkapan Hikmah Muta’aliyah, terdiri atas dua istilah –al Hikmah (artinya teosofi) dan al Muta’aliyah (tinggi atau transenden). Adapun secara epistemologis, hikmah muta’aliyah ini berarti kebijaksanaan yang didasarkan pada tiga prinsip, yaitu intuisi intektual (dzawq atau isyraq), pembuktian rasional (‘aql atau istidlal), dan syari’at. Dengan demikian, hikmah muta’aliyah adalah kebijaksanaan (wisdom) yang diperoleh lewat pencerahan ruhaniah atau intuisi intelektual dan disajikan dalam bentuk yang rasional dengan menggunakan argumentasi-argumentasi rasional. Hikmah Muta’aliyah ini bukan hanya memberikan pencerahan kognitif tetapi juga realisasi, yang mengubah wujud penerima pencerahan untuk merealisasikan pengetahuan sehingga terjadinya transformasi wujud hanya dapat dicapai dengan mengikuti syari’at. Penyebutan al-hikmah al-muta'aliyah sebagai aliran filsafat Shadra, kali pertama diperkenalkan oleh Abdul Razaq Lahiji (wafat 1661 M), salah seorang murid dan juga menantu dia yang terkenal. Shadra sendiri tidak menyatakan secara eksplisit, bahwa aliran filsafatnya al-hikmah al-muta'aliyah. Penyebutan istilah ini hanya tertulis dalam karya-karyanya, al-Hikmah al-Muta'aliyah maupun al-Syawahid al-Rububiyyah. Dalam pendahuluan al-Hikmah al-Muta'aliyah, Shadra membahas secara panjang mengenai definisi hikmah. Menurutnya, hikmah tidak hanya menekankan sikap teoritis melainkan juga pelepasan diri dari hawa nafsu dan penyucian jiwa dari kotoran-kotoran yang bersifat material. Shadra juga menerima definisi hikmah dari Suhrawardi, kemudian memperluasnya. Hikmah mencakup dimensi iluminasi dan penghayatan langsung dari kaum Isyraqi serta kaum sufi. Shadra juga memandang filsafat sebagai ilmu pengetahuan yang tinggi dan memiliki asal-usul ketuhanan, karena berasal dari Nabi. Selain itu, bagi Sayyed Hossein Nasr, pengguanaan al-hikmah al-muta'aliyah sebagai aliran filsafat Shadra terpengaruh oleh dua hal. Pertama, karena judul buku Shadra, al-Hikmah al-Muta'aliyah, menyatakan secara tidak langsung tentang keberadaan suatu aliran dan pandangan dunia yang di dalamnya terdapat doktrin-doktrin metafisika Shadra. Kedua, adanya ajaran moral dari Shadra sendiri. Shadra menunjuk al-hikmah al-muta'aliyah tidak hanya menjadi judul bukunya, melainkan ada ajaran moral di dalamnya. Untuk mengetahui konsep dan pemaknaan Shadra tentang al-hikmah al-muta'aliyah, harus melihat Shadra dalam mendefinisikan hikmah atau falsafah. Menurut Shadra, kedua istilah tersebut adalah identik. Hikmah atau falsafah, dalam perspektif Shadra, berarti al-hikmah al-muta'aliyah itu sendiri. Kesempurnaan jiwa manusia melalui pengetahuan terhadap realitas segala sesuatu yang ada sebagaimana adanya, dan pembenaran terhadap keberadaan mereka, yang dibangun berdasar bukti-bukti yang jelas, bukan atas dasar prasangka dan sekedar mengikuti orang lain, sebatas kemampuan yang ada pada manusia. Jika anda suka, anda bisa berkata (kesempurnaan jiwa manusia terhadap) tata tertib alam semesta sebagai tata tertib yang bisa dimengerti, sesuai kemampuan yang dimiliki, dalam rangka mencapai keserupaan dengan Tuhan. Melihat definisi di atas, bisa dilihat bahwa bagaimana Shadra mengkombinasikan berbagai pemikiran. Dari yang dikemukakan oleh Ibn Sina maupun yang dikemukakan oleh Suhrawardi. Dari definisi ini, juga kita dapat mengambil kesimpulan, bahwa hikmah dapat digunakan sebagai sarana untuk menuju Tuhan. Tentunya, tidak hanya hikmah yang dapat menjadi sarana mendekat pada Sang Khalik. Sebagai sebuah konstruksi, pemikiran al-hikmah al-muta'aliyah tentu saja tidak hanya dihasilkan dari konstruksi pemikiran pribadi Shadra, namun bersumber juga pada karya-karya sebelumnya. Akan tetapi, tidak dapat disimpulkan bahwa pemikiran Shadra hanya gabungan dari berbagai karya terdahulu. 2. Metode dan Karakteristik tentang al-Hikmah al-Muta’aliyah Penyelidikan yang menyeluruh dan mendalam terhadap kebenaran-kebenaran agama melalui intuisi intelektual dan harmonisasinya dengan pembuktian-pembuktian rasional telah memberikan Mulla Sadra pelbagai fondasi, persoalan dan kemungkinan baru untuk memperluas pembahasan-pembahasan filosofis. Dari sinilah kemudian dia menciptakan persoalan-persoalan baru, menemukan pandangan-pandangan yang baru dan mendalam, yang tidak pernah bisa ditemukan melalui pemikiran semata-mata. Itulah sebabnya mengapa dalam al-hikmah al-muta’aliyah semangat filsafat diperbarui kembali dan sejumlah pembahasan ditambahkan kepadanya. Disamping itu, jenis filsafat atau hikmah semacam ini berkaitan erat dengan penghayatan dan pengalaman langsung, dan metodenya pun terkait dengan agama, atau tidak mungkin bisa diperoleh kecuali melalui sarana wahyu atau ilham. Jadi, jelas bahwa ada tiga prinsip utama yang menopang tegaknya al-hikmah al-muta’aliyah, yaitu: intuisi intelektual (kasyf, dzauq atau isyraq), penalaran dan pembuktian rasional (‘aql, burhan atau istidlal), dan agama atau wahyu (syar’i). Diantara pembahasan yang menarik dalam al-hikmah al-muta’aliyah adalah tertang empat perjalanan manusia bila ingin memperoleh kebenaran dari tuhan. Empat perjalanan tersebut yaitu; a. Perjalanan dari dunia ciptaan (al-Khalq), dunia kasat mata, menuju kepada dunia pencipta, dunia kebenaran sejati (al-Haqq). Perjalanan ini ditempuh dengan cara melakukan semacam “observasi empirik” terhadap fenomena natural. Melalui observasi terhadap dunia natural yang serba beragam, akal sampai kepada sesuatu yang mempersatukan keragaman itu. Sebut saja, ini adalah empirisme rohaniah ala Mulla Sadra. Dengan kata lain, pada perjalanan pertama ini, orang melihat dirinya dari sisi dunia fisik dan diri jasmaniahnya sambil berusaha menggapai peleburan diri pada diri yang suci (Tuhan). b. Perjalanan dalam kebenaran yang sejati (al-Haqq) melalui pengetahuan yang sejati (al-Haqq). Inilah fase transendensi: tahap melampaui keragaman alam natural, dan tenggelam dalam Ketunggalan Mutlak yang tak mengenai kepelbagaian aksidental (‘aradl), atau dapat dikatakan pada perjalanan kedua ini, seseorang dapat mencapai tingkat keselarasan dengan nama dan sifat yang suci, atau dalam bahasa sederhana disebut wali. Pada kondisi ini dia melihat, mendengar dan berbuat melalui Tuhan. c. Perjalanan dari Yang Maha Sejati menuju kepada dunia ciptaan, melalaui pengetahuan sejati yang diperoleh pada tahap kedua di atas. Ini adalah empirisme kedua yang sudah mengalami transformasi radikal. Sebab, keragaman dilihat bukan sebagai keragaman pada dirinya sendiri, tetapi sebagai manifestasi dari Ketunggalan Mutlak. Bisa jadi pada perjalanan ketiga ini puncak peleburan diri yang disebut fana’. d. Perjalanan bersama dengan Yang Maha Sejati dalam dunia ciptaan. Perbedaan antara tahap keempat dan ketiga ialah: pada tahap ke-3, yang kita jumpai adalah perjalanan menuju (ila) kepada dunia ciptaan, sementara pada tahap keempat, kita berjumpa dengan perjalanan di dalam (fi) dunia ciptaan itu sendiri. Dengan kata lain, pada tahap keempat inilah terdapat puncak petualangan, di mana akal tenggelam di dalam alam ciptaan, tetapi memandangnya dengan ilmu sejati (al-Haqq). Akal menjadi bagian dari dunia, tetapi juga sekaligus berjarak dari dunia. Ambiguitas tahap keempat ini menjelaskan secara ringkas semacam “kosmologi” dan “ontologi” Sadrian. Dalam bahasa yang sederhana dapat dikatakan, seseorang tersebut, kembali ke dunia (al-khalq) dan membawa petunjuk bagi sesama. Hal itu sebagaimana diungkapkan oleh Mulla Sadra: "الاسفار الأربعة واعلم) ١ (ان للسلاك من العرفاء والأولياء أسفارا أربعة أحدها السفر من الخلق إلى الحق وثانيها السفر بالحق في الحق. والسفر الثالث يقابل الأول لأنه من الحق إلى الخلق بالحق. والرابع يقابل الثاني من وجه لأنه بالحق في الخلق". E. SUMBER-SUMBER FILSAFAT MULLA SADRA Shadra mengkaji seluruh warisan filsafat, keagamaan dan spiritual Islam, kecuali para filosof Spanyol, seperti Ibn Bajjah, Ibn Thufail dan Ibn Rusyd dari Spanyol dan wilayah Islam Barat. Ia juga sangat berhutang kepada Ibn ‘Arabi, yang memberikan satu pengaruh terpenting terhadapnya. Tradisi filsafat Peripatetik yang berawal pada Ibn Sina, tradisi teologi kalam, baik Syiah maupun Sunni, filsafat Iluminasionis Suhrawardi beserta para pengikut dan komentatornya dan akhirnya tradisi sufi yang berpuncak pada Ibn ‘Arabi beserta murid-murid dan komentatornya. Semuanya masuk kedalam struktur intelektual filosof kita. Dengan demikian ada tiga untaian utama yang secara sadar disatukan oleh Shadra untuk membentuk “sistesis besar”, yaitu (1) tradisi peripatetik Ibn Sina (2) tradisi Iluminasionis al-Suhrawardi dan (3) Gnosis-sufisme-nya Ibn ‘Arabi. 1. Tradisi Peripatetik Ibnu Sina (w. 428/1037). Ibn Sina diberi gelar al-Syaikh al-Rais yang berarti guru kepala, hendak menjelaskan bahwa ia merupakan lantai atau pondasi yang mendasari semua pembahasan filsafat dalam Islam. Tulisan- tulisan metafisika Ibn Sina yang sudah dikomentari secara ekstensif dan kreatif beberapa abad sebelum Shadra membentuk puncak teoritis dari sebuah tradisi filosofis Aristotelian Islami. Shadra mencari dukungan dari pernyataan-pernyataan bagi ajarannya sendiri yang khas seperti mengenai realitas wujud dan kelemahan esensi disamping mengkritik, memodifikasi dan terkadang membelanya dari kritik-kritik al-Suhrawardi, al-Thusi dan lain-lainnya. 2. Tradisi Iluminasionis al-Suhrawardi (w. 587/1191). Seorang filosof yang syahid pada usia 38 tahun yang sangat langsung dan berpengaruh besar kepada Shadra, dimana ia sendiri telah mensyarah kitab pentingnya al-Suhrawardi yakni Hikmah al-Isyraq. Pengaruh ini dalam kenyataannya dapat dipahami sebagai suatu penyempurnaan dan perluasan dari masa muda al-Suhrawardi serta upaya-upaya perintis: perubahan-perubahan penting dalam pendekatan Shadra sendiri. Pandangan al-Suhrawardi yang positif diterima oleh Sadra adalah pandangan yang menyatakan bahwa esensi logis itu bukanlah realitas, karena defenisi logis tidak menciptakan pembedaan yang tajam dalam realitas, pandangan lain adalah tentang realitas, dengan demikian, adalah adalah cahaya tunggal yang berangkai yang hanya dapat dijelaskan oleh pembedaan-pembedaan “lebih dan kurang” atau “ lebih sempurna dan kurang sempurna”. Kegelapan benar-benar negatif, yang nyata ialah “tingkatan” cahaya yang tersusun secara berjenjang dari cahaya mutlak (Tuhan) turun kepada apa yang disebutnya “cahaya-cahaya aksidental”. Gagasan tentang jenjang realitas ini diambil alih oleh Sadra. Adapun pokok penentangan Sadra kepada al-Suhrawardi adalah konsepnya tentang wujud adalah “gagasan atau hal sekunder yang dipikirkan”, sebaliknya shadra menegaskan wujud adalah realitas satu-satunya. Ia menjelaskan hanya wujudlah yang dapat menjadi lebih atau kurang, sedangkan esensi bukanlah realitas sebenarnya, tetapi hanya ada dalam pikiran. Jika wujud bukan realitas yang sebenarnya, apa yang tertinggal selain esensi? Tanyanya. Esensi sendiri tidak dapat menjadi lebih kurang karena tiap esensi bersifat “tertutup”, statis dan pas. Lebih jauh Sadra menggantikan cahaya al-Suhrawardi dengan wujud. 3. Ibnu Arabi dan sufisme (w. 638/1240). Digelar al-Syaikh al-akbar yang berarti guru terbesar dan dikenal sebagai pengembang tradisi tasawuf-falsafi. Pengaruh Ibn ‘Arabi bagi Mulla Sadra dapat dilihat pada tiga isu penting: non-wujudnya esensi, realitas sifat-sifat Tuhan dan dan peran eskatologis-psikologis alam citra (‘alam al-Mitsal). Mengenai yang pertama, ungkapan Ibn ‘Arabi terkenal “esensi tidak bernada wujud” dikutip oleh Sadra beberapa kali untuk mendukung ajarannya bahwa wujud adalah realitas satu-satunya dan bukan esensi. Di antara hal penting lain adalah pengaruh Ibn ‘Arabi terhadap ajaran Shadra tentang “Alam Citra”. Ajaran ini digunakan oleh Sadra juga Ibn ‘Arabi untuk membuktikan kebangkitan jasmani. Menurut mereka apa yang mereka persepsi melalui indra di dalam dunia ini lebih lemah ketimbang – karena kita terikat dengan dunia material – apa yang akan dipersepsi jiwa dialam ahirat kelak yang sangat kuat dan riil. 4. Selain itu, wahyu adalah aspek penting yang dijadikan sumber filsafat Mulla Sadra, baik itu al-Qur’an (tafsir) atau hadis nabi. Ada lagi sumber yang lain, yaitu kalamnya Imam Syiah, ulama’ Sunni dan lain sebagainya. F. PENGARUH FILSAFAT MULLA SADRA Pengaruh Mulla Sadra pada masanya sangat terbatas dan mazhabnya hanya mempunyai sedikit pengikut. Ajaran sadra menyebar secara gradual, terutama berkat komentar-komentarnya terhadap karya-karya Ibnu Sina dan As-Suhrawardi yang menarik perhatian para pengikut mazhab peripartisisme dan iluminasionisme. Tokoh penting pertama mazhab Mulla Sadra yang sebenarnya, yang telah mencetak sejumlah murid yang andal dan aktif adalah Mullah ‘Ali Nuri (wafat 1246). Sementara itu, Asytiyani memproklamasikan diri sebagai “pengikut terbesar dan terbaik di kalangan para komentator Sadra”. Dr Ali Ridha Sadra menulis sebuah makalah yang diterbitkan di Majalah Pegah edisi terakhir dengan judul “Mengenal Metode Al Hikmah Al Muta’aliyah dan Pengaruhnya pada Pemikiran Politik” Dalam buku-bukunya beliau juga menjelaskan tentang sistem pemerintahan yang mana beliau berangkat dari keyakinannya akan keberadaan bahwa keberadaan adalah sesuatu yang mengada atau dengan kata lain adalah “menjadi ada” maka Imam Khomeini mengembangkannya dalam dunia politik, sehingga layaklah pemikiran politik Imam Khomeini untuk disebut pemikiran politik transendental (Al Siyasah Al Muta’aliyah) Dalam pandangan Imam Khomeini para ulama dan pakar Islam selama ini telah berusaha untuk menyusun konsep pemikiran baik dalam akhlak atau pun lainnya, seperti Khojah Nasiruddin Thusi, Ibnu Maskawayh, Razi dan lain-lain. namun semua itu sama dengan orang yang tahu akan penyakit dan teori tentang penyakit, sementara kita butuhpada dokter yang tidak hanya tahu tentang teori penyakit namun yang bisa menyembuhkan penyakit. Sejak lama kita memiliki dua problema dalam dunia pemikiran politik; pertama adalah ilmu politik dan kedua ilmu untuk memahamkannya kepada orang lain. Menurut Mulla Sadra metode yang harus digunakan adalah metode “Sayr Wa Suluk” karena itu beliau memberi nama kitabnya dengan “Asfar” yang diperkaya dengan teks suci Al Quran. BAB III PENUTUP 1. Simpulan Dari ulasan yang dipaparkan muka, dapat disimpulkan sebagai berikut: bahwa theosofi transcendental atau hikmah al-muta’aliyah Mulla Sadra adalah sejenis ajaran kebijaksanaan yang didasarkan pada tiga prinsip, yaitu intuisi intektual (dzawq atau isyraq), pembuktian rasional (‘aql atau istidlal), dan syari’at. Salah satu kandungan ajaran tersebut adalah, tertang empat perjalanan manusia bila ingin memperoleh kebenaran dari tuhan secara benar. Empat perjalanan itu adalah; 1). Perjalanan dari dunia ciptaan (al-Khalq), dunia kasat mata, menuju kepada dunia pencipta, dunia kebenaran sejati (al-Haqq), 2). Perjalanan dalam kebenaran yang sejati (al-Haqq) melalui pengetahuan yang sejati (al-Haqq), 3). Perjalanan dari Yang Maha Sejati menuju kepada dunia ciptaan, melalaui pengetahuan sejati yang diperoleh pada tahap kedua di atas, dan 4). Perjalanan bersama dengan Yang Maha Sejati dalam dunia ciptaan. Untuk sampai puncak pemikiran tersebut, Mulla Sadra banyak terinspirasi oleh filosof atau ahli hikmah terdahulu, dan itu menjadi sejenis sumber ajaran hikmah al-muta’aliyahnya, diantaranya adalah: Ibnu Sina, Syaikhul Isyraq Suhrawardi al-Maqtul, Wahyu, kalam-kalam Syiah, Sunni dan Muktazilah. 2. Saran Pemakalah berharap, dalam mengkaji tentang tentang ulama’ Syiah, seharusnya paham betul terkait dengan dinamika ajaran, filsafat dan kontruksi berfikir mereka. Hal itu, akan meminimalisir kesalahan-kesalahan dalam memahami dimensi-dimensi ajaran yang ada pada Syiah, khususnya tokoh yang menjadi kajian tersebut, dan penulis menyadari, itu adalah salah satu kekuarangan yang ada pada penulis. Selain yang disebutkan dimuka, ajaran atau gagasan Mulla Sadra, sebenarnya ada yang masih tertinggal (tidak terbahas dan memang bukan menjadi topic inti pemakalah), yaitu konsep atau gagasan Mulla Sadra tentang Filsafat Eksistensialistik (Falsafatul Wujud) dan al-Harakah al-Jauhariyah. DAFTAR PUSTAKA • Dimitri Mahayana, 2003 “al-Asfar al Arbaa’ah (Empat Perjalanan) Peta Jalan menuju Langit”, dalam Mustamin al-Mandary (ed.) Menuju Kesempurnaan, Yogyakarta: Safinah. • Fazlur Rahman, 2000. Filsafat Shadra, Bandung: Pustaka • Iswahyudi, 2004. Rasionalisme rasional versus Irrasionalisme rasional, dalam Dialogia, Vol. 02, No. 02, Juli- Desember. • Mulla Sadra, al-Hikmah al-Mutaaliyah fi al-Asfar al-Aqliyyah al-Arba'ah, Juz. 02, (tk, tp: 1981). • Nurul Farida, 2005. al-Hikmah al-Muta’aliyat (Studi Pemikiran Mulla Sadra), Skripsi Fakultas Ushuludin IAIN Walisongo tahun 2005, tidak diterbitkan. • Saifullah, Filsafat eksistensialistik, study atas pemikiran Mulla Sadra, dalam Dialogia, Vol. 02, No. 02, Juli- Desember 2004 • Sayyed Hossen Nasr dalam Ahmad NP. (ed.), 1996. Perenialisme Melacak Jejak Filsafat Abadi,. Yogyakarta: Tiara Wacana. • Syaifan Nur,. 2003 Filsafat Mulla Sadra, Pendiri Mazhab al-Hikmah al-Muta’aliyat,. Bandung: Teraju. • Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2008 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa, • Yaya Sunarya, M.Pd. 2012. Pengantar Filsafat Islam. Bandung: CV Arfino Raya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar